Jerman, raksasa ekonomi Eropa, tidak pernah semakmur, seaman dan sebebas saat ini. Negara tersebut merupakan ekonomi terbesar keempat di dunia dan salah satu eksportir teratas secara global.
Dua puluh empat tahun setelah reunifikasinya, Jerman telah menjadi mitra AS paling berharga di Eropa, menurut Annette Heuser, direktur eksekutif dan pendiri Yayasan Bertelsmann, cabang organisasi Jerman di Washington yang mempromosikan hubungan trans-Atlantik.
Heuser mengulangi pertanyaan yang diluncurkan Henry Kissinger, mantan menteri luar negeri AS yang lahir di Jerman, mengenai negara mana yang merupakan lokus kekuatan Eropa.
"'Berapa nomor telepon Eropa?' Saya kira kita dapat memberi Henry Kissinger jawaban yang sangat solid. Nomornya ada di Berlin," ujar Heuser.
Pemimpin Tak Ambisius?
Meski pengaruhnya meningkat, Jerman terlihat enggan mengambil posisi kepemimpinan dalam urusan global yang lebih besar, ujar Stephen Szabo, akademisi hubungan AS-Eropa dan penulis buku "Germany, Russia and the Rise of Geo-Economics" (Jerman, Rusia dan Kebangkitan Geo-Ekonomi).
"Idenya adalah bahwa (Jerman merupakan) kekuatan ekonomi, bukan kekuatan militer atau strategis," ujar Szabo, direktur eksekutif lembaga penelitian Transatlantic Academy yang sebagian didanai German Marshall Fund.
"Akankah Jerman berhenti menjadi negara perdagangan besar yang hanya peduli pada perdagangan, ataukah ia akan mulai menyeimbangkan kembali posisinya dan memiliki kebijakan luar negeri sebenar-benarnya, bukan hanya kebijakan ekonomi?" ujar Szabo.
Ia menyadari bahwa jalan Jerman menuju status kekuatan besar dipenuhi banyak kendala. Krisis utang zona Eropa 2009 telah diatasi oleh Berlin, namun lima tahun berisi langkah penghematan yang sulit menggeser lanskap politik Eropa dengan munculnya kebangkitan radikal sayap kiri dan populis sayap kanan.
Kesamaan dari mereka adalah resistensi terhadap solusi-solusi Jerman, ujar Szabo.
"Saya kira ada kesombongan tertentu selama ini: 'Cara kami benar, ikuti saja cara kami'," ujarnya mengenai para pemimpin Jerman. "Ini sesuatu yang harus diatasi."
Kebangkitan Jerman terjadi saat Barat mengkonfrontasi Rusia terkait Ukraina dan mencoba mengurangi risiko-risiko keamanan yang muncul dari ekstremisme Islamis, ujar Daniel Hamilton, direktur Johns Hopkins University Pusat Hubungan Trans-Atlantik di Johns Hopkins University.
"Semua gejolak terkait Rusia, dan semua gejolak di Timur Tengah, dapat bersinggungan pada satu titik dan mempengaruhi Eropa," ujar Hamilton.
"Semuanya dapat berbalik ke Eropa Barat baik dalam hal aliran manusia atau aliran semua hal buruk yang mempengaruhi Eropa."
Peningkatan Keamanan
Krisis di pintu Eropa telah membuat Berlin meningkatkan kehadiran keamanannya.
Reinhard Bütikofer dari Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman mengatakan militer Jerman memainkan peran besar dalam pasukan respon cepat baru NATO yang dibentuk sebagai reaksi langkah Rusia di Ukraina.
"Dan orang-orang Jerman, yang tidak pernah giat terlibat secara militer, telah menaruh pasukan-pasukan di beberapa negara Baltik, membantu negara-negara yang memiliki pertahanan militer yang lemah," ujar Bütikofer.
Mengakhiri hal tabu lainnya pasca Perang Dunia II, Berlin memberikan senjata pada pasukan Irak Kurdi yang bertempur melawan Negara Islam (ISIS).
Para ahli mengatakan jangkauan ekonomi global Jerman bergantung pada stabilitas tata politik internasional yang ditopang kekuatan strategis Barat, di mana sekarang Jerman dengan siap memberikan kontribusinya.