Industri fashion atau mode selalu punya hubungan dengan beberapa bentuk aktivisme sosial. Tetapi sering kali industri ini juga dianggap sebagai salah satu ekses konsumerisme yang tak terkontrol. Ini dapat berubah jika RUU Mode Berkelanjutan dan Akuntabilitas Sosial (Fashion Sustainability and Social Accountability Act - FSSAA) New York ditetapkan sebagai undang-undang.
Nicole McLaughlin memperlihatkan jaket yang terbuat dari kumpulan sarung tangan oven yang baru dikembalikan kepadanya setelah dipamerkan beberapa waktu di museum. McLaughlin terkenal jago membuat kreasi daur ulang, sampai-sampai mendapat julukan sebagai “Upcycling Sorceress,” penyulap yang mendaur ulang aneka barang menjadi karya bernilai lebih mahal daripada aslinya.
Benda lain yang dipamerkan McLaughlin adalah jaket dari bahan sepatu yang ia peroleh dari toko barang bekas. Ia bergabung dengan aktivitas mode berkelanjutan setelah bekerja sebagai desainer grafis di sebuah perusahaan sepatu besar.
Ia melihat begitu banyak barang dibuang. Aneka jenis bahan, kancing hingga ritsleting, yang jumlahnya ribuan untuk model percobaan saja. Karena itu, McLaughlin sebisa mungkin mulai menyelamatkannya dan berkreasi dengan potongan-potongan yang bisa diselamatkan. Tidak lama kemudian ia begitu terpikat oleh kegiatan itu sehingga ia pun memutuskan untuk mencurahkan sepenuh waktunya untuk mode berkelanjutan.
McLaughlin menjelaskan,“Mode berkelanjutan selalu paling belakang diperhatikan; ini sangat kecil. Dan sekarang jika kita tidak bertindak mendukungnya dan berinvestasi untuk masa depan, merek-merek tersebut tidak akan mampu bertahan.”
Merek-merek itu mungkin terpaksa menjalankan praktik mode berkelanjutan jika RUU Mode Berkelanjutan dan Akuntabilitas Sosial New York disahkan.
Diajukan ke parlemen negara bagian New York pada awal tahun ini, legislasi tersebut akan mewajibkan riteler dan produsen mode bertanggung jawab atas praktik-praktik berkelanjutan mereka. Mereka harus membuat informasi mengenai pengiriman barang, material yang digunakan dan kondisi tenaga kerja, transparan dan terbuka bagi umum, di mana pun produksinya dilakukan.
RUU ini akan berlaku untuk merek-merek besar dengan nilai penjualan lebih dari 100 juta dolar yang berbisnis di negara bagian New York. Pelanggar dapat dijatuhi denda hingga dua persen dari pendapatan tahunannya, dan daftar pelanggar akan diterbitkan oleh kantor Kejaksaan Agung New York. Banyak desainer mendukung prakarsa tersebut, termasuk di antaranya Stella McCartney.
Aja Robinson adalah penyelia penjualan di Butik Stella McCartney di SoHo. Ia bangga memamerkan koleksi berkelanjutan baru butik tersebut. “Sejujurnya, ini keajaiban! Dapat benar-benar membuat sesuatu dari materi yang bebas dari kulit hewan, dari sayuran, jamur, sesuatu yang berasal dari bumi, sesuatu yang alami! Ini penting sekali!.”
Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP) menyatakan industri mode bertanggung jawab atas 10 persen emisi karbon. Bukan hanya itu. Menurut Asosiasi Bahan Sekunder dan Tekstil Daur Ulang (Secondary Materials and Recycled Textiles Association, SMART), hampir semua baju bekas dan tekstil dapat didaur ulang dan digunakan kembali, namun toh 80 persennya berakhir di tempat pembuangan akhir. Mclaughlin mengatakan hal tersebut harus dihentikan.
“Penting sekali untuk dapat memikirkan tentang masa kanak-kanak Anda, masa lalu Anda dan menggunakannya sebagai rujukan. Ada begitu banyak sampah dan menurut saya ini adalah sesuatu yang saya anggap sebagai sampah yang diubah menjadi barang berharga,” jelasnya.
Ini penting bagi upaya-upaya memperlambat perubahan iklim. Namun, masih belum jelas apa dampak UU berkelanjutan itu terhadap harga busana jika undang-undang itu diberlakukan. [uh/ab]