BIMA, NTB —
Tanpa menggunakan pelana, seorang joki bernama Herman Sarifudin menuntun kudanya ke tempat kotak start arena pacuan kuda di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Pintu gerbang terbuka dan kuda tersebut melesat bersama Sarifudin yang memegang erat tali kendali.
Sarifudin baru berumur delapan tahun.
Ia adalah salah satu dari puluhan anak-anak yang berpartisipasi dalam pacuan tersebut. Kuda-kudanya kecil, hanya setinggi 1,20 meter. Namun tetap saja terlalu tinggi sehingga para ayah membantu putra-putranya naik ke atas kuda.
Sarifudin bertanding minggu lalu melawan lima anak lainnya di trek lonjong yang berdebu sepanjang 1,400 meter dekat kota Bima. Jika ia menang, hadiahnya adalah sejumlah uang untuk keluarganya, serta kebanggaan bagi dirinya.
Ia tampak grogi sebelum pertandingan dimulai, namun begitu pintu terbuka, ia dan para joki lainnya yang bertelanjang kaki terlihat penuh kontrol, mendesak kudanya lari kencang dengan sedikit tendangan di perut.
Sarifudin mendapat posisi ketiga. Ia mengatakan merasa sangat lelah.
Mohammad Amin adalah pejabat pemerintah setempat yang senang memelihara kuda. Ia memiliki 12 ekor kuda. Anak-anak memiliki bobot yang ringan, ujarnya, sehingga pas menjadi joki.
“Anak-anak belajar mengendarai kuda dari umur lima tahun,” ujarnya.
Sekitar 2.000 penonton melihat pertandingan tersebut di pinggir jalur pertandingan, dan tidak ada yang peduli peraturan yang melarang berjudi.
Hami, sorang kakek, berusaha menjual telepon genggam Nokia miliknya supaya ia dapat ikut bertaruh.
Dua Sapi
Haji Sukri, 45, ketua penyelenggara pertandingan hanya mendengus saat ditanya mengenai bahaya menggunakan joki anak-anak. Menurutnya, anak-anak itu pengendara yang handal dan tidak pernah ada yang tewas ataupun terluka parah.
Salah satu anak jatuh di trek yang berdebu pada pertandingan minggu lalu. Ayahnya segera membopongnya dengan berurai air mata.
“Tidak apa-apa, jatuh dari kuda,” ujar Irwansyah, seorang supir taksi.
“Tapi mereka seharusnya bersekolah, bukan ikut pacuan kuda. Mereka bisa bolos 10 hari hanya untuk satu pertandingan.”
Pacuan kuda telah diselenggarakan setiap akhir musim panen beras sejak lama. Tahun ini, pertandingan di dekat Bima berlangsung 11 hari dan melibatkan hampir 600 kuda, kebanyakan dari Sumba, Bali, Lombok dan Flores.
Hadiah utamanya adalah Rp 1 juta. Mereka yang menang dalam pertandingan kelompok mendapat dua ekor sapi.
Salah satu bintang muda tahun ini adalah Mohammad Endiansyah, 11, atau Endi, yang bolos dua bulan dari sekolah untuk musim pertandingan.
Orang-orang yang bertaruh mengatakan ia pengendara yang hebat, sangat handal mengendalikan kuda-kudanya. Ayahnya, Asikin, mengatakan ia telah menghasilkan Rp 15 juta dalam dua bulan terakhir dari pertandingan yang berbeda-beda.
“Kuda itu seperti teman,” ujar Endi. “Saya pernah jatuh, sakit dan menangis, tapi tidak pernah ada kuda yang menginjak saya.”
Endi mengatakan ia ingin menjadi polisi saat besar nanti.
“Tapi saya juga ingin menjadi joki profesional,” ujarnya. (Reuters/Beawiharta)
Sarifudin baru berumur delapan tahun.
Ia adalah salah satu dari puluhan anak-anak yang berpartisipasi dalam pacuan tersebut. Kuda-kudanya kecil, hanya setinggi 1,20 meter. Namun tetap saja terlalu tinggi sehingga para ayah membantu putra-putranya naik ke atas kuda.
Sarifudin bertanding minggu lalu melawan lima anak lainnya di trek lonjong yang berdebu sepanjang 1,400 meter dekat kota Bima. Jika ia menang, hadiahnya adalah sejumlah uang untuk keluarganya, serta kebanggaan bagi dirinya.
Ia tampak grogi sebelum pertandingan dimulai, namun begitu pintu terbuka, ia dan para joki lainnya yang bertelanjang kaki terlihat penuh kontrol, mendesak kudanya lari kencang dengan sedikit tendangan di perut.
Sarifudin mendapat posisi ketiga. Ia mengatakan merasa sangat lelah.
Mohammad Amin adalah pejabat pemerintah setempat yang senang memelihara kuda. Ia memiliki 12 ekor kuda. Anak-anak memiliki bobot yang ringan, ujarnya, sehingga pas menjadi joki.
“Anak-anak belajar mengendarai kuda dari umur lima tahun,” ujarnya.
Sekitar 2.000 penonton melihat pertandingan tersebut di pinggir jalur pertandingan, dan tidak ada yang peduli peraturan yang melarang berjudi.
Hami, sorang kakek, berusaha menjual telepon genggam Nokia miliknya supaya ia dapat ikut bertaruh.
Dua Sapi
Haji Sukri, 45, ketua penyelenggara pertandingan hanya mendengus saat ditanya mengenai bahaya menggunakan joki anak-anak. Menurutnya, anak-anak itu pengendara yang handal dan tidak pernah ada yang tewas ataupun terluka parah.
Salah satu anak jatuh di trek yang berdebu pada pertandingan minggu lalu. Ayahnya segera membopongnya dengan berurai air mata.
“Tidak apa-apa, jatuh dari kuda,” ujar Irwansyah, seorang supir taksi.
“Tapi mereka seharusnya bersekolah, bukan ikut pacuan kuda. Mereka bisa bolos 10 hari hanya untuk satu pertandingan.”
Pacuan kuda telah diselenggarakan setiap akhir musim panen beras sejak lama. Tahun ini, pertandingan di dekat Bima berlangsung 11 hari dan melibatkan hampir 600 kuda, kebanyakan dari Sumba, Bali, Lombok dan Flores.
Hadiah utamanya adalah Rp 1 juta. Mereka yang menang dalam pertandingan kelompok mendapat dua ekor sapi.
Salah satu bintang muda tahun ini adalah Mohammad Endiansyah, 11, atau Endi, yang bolos dua bulan dari sekolah untuk musim pertandingan.
Orang-orang yang bertaruh mengatakan ia pengendara yang hebat, sangat handal mengendalikan kuda-kudanya. Ayahnya, Asikin, mengatakan ia telah menghasilkan Rp 15 juta dalam dua bulan terakhir dari pertandingan yang berbeda-beda.
“Kuda itu seperti teman,” ujar Endi. “Saya pernah jatuh, sakit dan menangis, tapi tidak pernah ada kuda yang menginjak saya.”
Endi mengatakan ia ingin menjadi polisi saat besar nanti.
“Tapi saya juga ingin menjadi joki profesional,” ujarnya. (Reuters/Beawiharta)