Presiden Joko Widodo berharap, tokoh agama dan masyarakat berperan penting mendinginkan suasana, khususnya pasca insiden penyerangan pelaksanaan sholat Idul Fitri didistrik Karubaga kabupaten Tolikara Papua.
Dalam pertemuan bersama tokoh agama dan masyarakat di Istana Negara Jakarta Kamis malam (23/7), Presiden menilai insiden di Tolikara yang bertepatan di hari raya Idul Fitri, tidak perlu terjadi apabila komunikasi dan silaturahmi berjalan dengan baik antarumat beragama. Presiden menegaskan, gesekan sekecil apapun sebaiknya segera dipadamkan, sebelum membesar.
"Kita semuanya sepakat untuk segera dipadamkan, dihilangkan, agar yang kecil itu tidak membesar dan menjadi besar," ujar Jokowi.
Lebih lanjut Presiden Jokowi mengatakan, nilai-nilai toleransi masih harus terus diperjuangkan agar persaudaraan dan kerukunan lintas agama di Tanah Air betul-betul berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.
"Kita akan terus memperjuangkan agar persaudaraan dan kerukunan lintas agama di tanah air itu betul-betul bisa kita lakukan dalam kehidupan kita sehari-hari," tambahnya.
Presiden Jokowi menegaskan bahwa tidak ada kata terlambat untuk saling berkomunikasi dan bersilaturahmi untuk mencegah dan menyelesaikan gesekan dalam kehidupan bermasyarakat yang beragam.
Pertemuan dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat sebelumnya juga dilakukan oleh Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso di kediamannya di Jalan Denpasar Jakarta.
Sutiyoso dalam pertemuan itu memastikan ketegasan Pemerintah dalam penegakan hukum tanpa harus melihat agama manapun.
"Saya rasa semua kejadian yang menyangkut agama apapun, kami Pemerintah terutama kepolisian selalu berdiri hanya kiblatnya satu, yaitu penegakan hukum. Kita tidak memandang dari agama apapun. Yang salah pastinya kita akan ambil tindakan," tegasnya.
Sementara itu dalam kesempatan terpisah, Majelis Ulama Indonesia meminta masyarakat Indonesia khususnya umat Muslim tidak terhasut dan terprovokasi dengan kejadian insiden di Tolikara Papua. Wakil Ketua Umum MUI Pusat, Ma’ruf Amin mengatakan MUI meminta masyarakat tetap menjaga dan meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
"Kita mengharap umat Islam tidak terprovokasi. Karena peristiwa di Tolikara itu kemudian umat marah di berbgai daerah. Jangan sampai itu ada yang terprovokasi. Kita tetap membangun damai di mana-mana, terutama damai di Papua. Intinya itu. Kita mewaspadai jangan sampai peristiwa di Tolikara itu terjadi di tempat lain. Bukan hanya umat Islam tapi juga untuk agama-agama lain," paparnya.
Staf Ahli Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Wawan Purwanto mensinyalir adanya pola perekrutan mujahid yang siap diberangkatkan ke Papua yang kemudin berujung pada bentrokan antar agama.
"Pola itu sensitif sekali untuk bisa memicu orang-orang di wilayah lain yang kebetulan sentimen agamanya kental untuk bergerak. Oleh sebab itu kan sempat ada seruan kepada mujahid untuk mendaftar ke Papua untuk melakukan operasi terselubung. Nah, itu kan sebagai dampak langsung yang diharapkan dari si pengatur skenario ini. Pecahnya perseteruan dan bentrokan antar agama. Ini yang harus diantisipasi agar tidak terjadi," kata Wawan.
Dalam perkembangan terakhir, Kepolisian Republik Indonesia mulai menetapkan status tersangka terhadap pelaku kekerasan dalam insiden pelaksanaan Sholat Idul Fitri Jum’at (17/7) di distrik Karubaga Kabupaten Tolikara Papua.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti di kompleks Istana Kepresidenan Kamis (23/7) mengatakan untuk sementara ini polisi menetapkan 2 orang tersangka dari kalangan Gereja Injil di Indonesia (GIDI) dengan sangkaan melakukan penghasutan dan aksi kekerasan.
"Sementara baru 2 orang. Dari pihak masyarakat di sana. Mereka pegawai, kalo ga salah pegawai bank. Kita ada alat buktinya yang cukup untuk menetapkan sebagai tersangka. Mereka dari pihak GIDI. Inisialnya AK dan N. Sangkaannya melakukan pengrusakan. Melakukan kekerasan dan penganiayaan. Serta melakukan penghasutan," ungkap Kapolri.
Selain terus melakukan penyelidikan kasus ini, polisi lanjut Badrodin juga terus melakukan pendekatan terhadap kalangan ulama dan tokoh masyarakat di seluruh Indonesia untuk mencegah terjadinya kekerasan serupa di berbagai daerah.