Kegaduhan ini diawali rencana diskusi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Diskusi itu gagal dilaksanakan, karena panitia dan pembicaranya menerima ancaman pembunuhan.Padahal, semua ahli hukum tata negara memastikan, pemakzulan presiden adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin terjadi di Indonesia saat ini. Apalagi, bagi Presiden Jokowi yang membangun koalisi besar di DPR.
Salah satu yang berpendapat seperti itu adalah pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, yang juga mantan wakil menteri hukum dan HAM di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Kita pun dengan mekanisme sekarang lebih sulit bahkan hampir mustahil, kalau kita lihat tidak ada perubahan konfigurasi politik koalisi sekarang, untuk memberhentikan Presiden Jokowi,” kata Denny.
Pemerintahan Jokowi Aman
Denny menyampaikan pendapat itu dalam seminar daring “Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi COVID-19.” Seminar diselenggarakan Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute (KJI) pada Senin (1/6).
Denny memaparkan, salah satu ciri sistem presidensial adalah proses pemakzulan yang sulit. Namun, salah satu syarat sistem itu adalah adanya mekanisme pemakzulan. Karena itu, persoalan pemakzulan sebenarnya hal yang wajar dibicarakan.
“Sehingga Presiden seharusnya dan jajaran pemerintahan itu lebih nyaman lebih kenalkan tidak perlu khawatir dengan mudah dijatuhkan. Apalagi hanya melalui diskusi mahasiswa saja,” tambahnya.
Denny menjelaskan, UUD 1945 telah mengalami amandemen. Dalam soal pemakzulan, langkah pertama ada di DPR. Melihat koalisi pemerintah yang saat ini terbangun, sangat tidak mungkin DPR akan memproses upaya pemakzulan.
Langkah kedua, ada di Mahkamah Konstitusi. Melihat susunan majelis di MK, lanjut Denny, sudah bisa diperkirakan arah keputusan lembaga itu. Setelah itu, jika berlanjut prosesnya kembali ke DPR dan kemudian ke MPR. Di seluruh lembaga itu, koalisi pemerintah memiliki kuasa penuh. Denny bahkan yakin, upaya pemakzulan sudah akan berhenti di tahap pertama.
Indonesia Belajar dari Sejarah
Pendapat Denny diperkuat oleh Aidul Fitriciada Azhari, pakar hukum tata negara yang juga Ketua Umum Mahutama. Aidul menjelaskan, Indonesia pernah menerapkan demokrasi parlementer di masa lalu. Ketika itu, pemerintahan mudah sekali jatuh. Usia pemerintahan rata-rata tak sampai dua tahun, kemudian berganti.
Belajar dari masa lalu, posisi Presiden di Indonesia saat ini sangat kuat, begitupun pemerintahan yang dijalankannya.
“Ketika kita memilih sistem presidensial, kita menghindari jatuh bangunnya pemerintahan. Pemerintahan yang tidak stabil, pemerintahan yang tidak efektif, pemerintahan yang rentan sekali. Dan sistem presidensial memungkinkan itu semua,” kata Aidul.
Karena itulah, tambah Aidul, perbincangan mengenai pemakzulan sebenarnya lebih pada memberi pemahaman kepada masyarakat. Bagi mereka yang berkecimpung di dunia hukum, khususnya hukum tata negara, pemakzulan adalah tema perbincangan biasa. Pemerintah justru harus menjamin kebebasan berpikir dan berpendapat, yang sudah disepakati sejak republik berdiri.
Dalam masyarakat adat Indonesia, pemakzulan juga bukan sesuatu yang asing. Dalam tradisi Minang, misalnya, kata Aidul, posisi pemimpin hanya ditinggikan seranting dilebihkan selangkah. Pedoman itu kurang lebih bermakna posisi rakyat dan pemimpinnya tidak berbeda jauh. Dalam sejarah Kerajaan Bone, pemakzulan juga pernah dilakukan dengan cara beradab. Raja yang dimakzulkan bahkan tetap memperoleh penghormatan dari rakyatnya.
Mahutama sendiri menyelenggarakan diskusi pemakzulan, kata Aidul, adalah dalam rangka melakukan sosialisasi. Presiden Indonesia saat ini, tidak bisa dimakzulkan dengan proses yang sama seperti yang terjadi pada Soeharto dan Abdurrahman Wahid.
“Sistem kita sudah berbeda sama sekali, pembicaraan ini agar tidak terjadi kasak-kusuk di tengah masyarakat, yang kalau dibiarkan menjadi disinformasi. Kita harus terbuka membicarakan ini agar semua orang tahu dan sekaligus melakukan edukasi,” kata Aidul.
Membedakan Wacana dan Gerakan
Pakar hukum tata negara dan pengamat politik Refly Harun menggarisbawahi pentingnya menjamin kebebasan berpendapat. Refly mengajak masyarakat membedakan antara wacana dan gerakan. Wacana adalah kegiatan akademik, mendiskusikan sesuatu karena memang layak dibicarakan. Dalam kasus ini adalah pemakzulan, yang oleh UUD 1945 sendiri sudah diperbincangkan.
“Maka sah-sah saja kalau kita kemudian mewacanakan, mendiskusikan, hal-hal yang terkait dengan impeachment atau pemberhentian presiden dan wakil presiden. Karena itu ada di ayat-ayat konstitusi. Tapi kita harus bedakan dengan gerakan. Kalau gerakan, lain lagi masalahnya,” kata Refly.
Dijelaskan Refly, selain wacana ada gerakan dan keduanya berbeda. Ada tiga jenis gerakan terkait upaya pemakzulan Presiden, yaitu gerakan konstitusional, inkonstitusional dan ekstrakonstitusional.
Gerakan konstitusional adalah aspirasi rakyat yang disampaikan kepada DPR terkait permintaan pemberhentian Presiden. Langkah ini sah-sah saja dan dijamin undang-undang. Gerakan kedua adalah inkonstitusional, misalnya rakyat berkumpul dan menggalang senjata untuk menjatuhkan Presiden. Sedangkan gerakan ekstrakonstitusional dicontohkan Refly adalah terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menciptakan tatanan baru ketika itu.
Dalam pengantar seminar, Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat, Din Syamsuddin berkisah mengenai pemakzulan dalam kacamata politik Islam. Tidak hanya dalam tradisi demokrasi Barat, politik Islam juga mengenal proses pemakzulan. Bahkan kata pemakzulan itu sendiri berakar dari kata Bahasa Arab, yang kurang lebih bermakna mencopot sesuatu atau menyingkirkannya ke samping. Karena itu, diskusi mengenai pemakzulan harus dinilai sebagai sesuatu yang biasa saja.
Dalam tradisi politik Islam, kekuasaan dianggap sebagai amanat dari Tuhan. Karena itu, pemimpin yang menjalankannya harus melaksanakan kewajibannya seperti berlaku adil.
“Jika tidak mampu untuk diwujudkan oleh seorang pemimpin, ini sudah bisa menjadi syarat bagi pemakzulan,” kata Din. [ns/ft]