Presiden Joko Widodo mengimbau seluruh jajarannya untuk terus berupaya menyelesaikan permasalahan sengketa lahan di masyarakat.
Menurutnya, selain berdampak pada menurunnya kepercayaan investor untuk menanamkan modal di tanah air, persoalan sengketa tanah ini juga bisa meningkatkan konflik sosial.
“Bahaya loh yang kalau sudah namanya sengketa tanah, sengketa lahan bahaya banget. Orang bisa bunuh-bunuhan gara-gara itu. Orang bisa pedang-pedangan gara-gara sengketa lahan. Antar kampung berantem bisa karena sengketa lahan. rakyat dan perusahaan bisa berantem karena sengketa lahan. Hati-hati, ini hati-hati dampak sosial, dampak ekonominya bisa kemana-mana,” ungkap Jokowi dalam sambutannya di Acara Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit, di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (9/6).
Jokowi mengungkapkan dari 126 juta bidang tanah yang harus disertifikasi, baru sekitar 80,6 juta lahan yang sudah memiliki sertifikat tanah. Angka tersebut meningkat, dari hanya sekitar 46 juta bidang tanah pada 2015 silam.
Di bawah instruksinya, Jokowi berupaya untuk terus menerbitkan sertifikat tanah yang menjadi hak masyarakat dengan cukup cepat. Menurutnya, dari hanya menerbitkan 500.000 sertifikat tanah dalam setahun, kini pihaknya sudah bisa menerbitkan 9.000.000 sertifikat tanah per tahun.
Capaian tersebut, ujarnya harus terus ditingkatkan mengingat masih banyak masyarakat kecil yang sampai saat ini masih berjuang untuk bisa mendapatkan sertifikat atas tanah yang mereka miliki. Ia pun geram, ketika masih ada Kementerian/Lembaga yang tidak berpihak pada masyarakat kecil dalam menyelesaikan permasalahan ini.
“Dan yang lebih menjengkelkan lagi justru yang gede-gede kita berikan. Ini yang saya ulang-ulang. Hak Guna Bangunan (HGB) 10.000 hektar ini. HGB 2.000 hektar ini, HGB 30.000 hektar ini kita berikan tapi begitu yang kecil-kecil 200 meter persegi aja entah itu hak milik, entah itu HGB tidak bisa kita selesaikan. Ini lah persoalan besar kita kenapa yang namanya sengketa lahan itu ada di mana-mana,” tuturnya.
Jokowi menuturkan, salah satu kendala dalam menyelesaikan persoalan sengketa lahan ini adalah masih tingginya ego sektoral antar Kementerian/Lembaga terkait. Ia mencontohkan, suku bajo yang sudah turun menurun hidup di atas perairan atau laut, akhirnya bisa diberi sertifikat HGB pada saat ini setelah lama diperjuangkan akibat terhambat oleh ego sektoral antar kementerian.
“Ributnya hanya masalah gitu-gitu, dari dulu termasuk urusan sertifikat juga gitu-gitu. Pemda di kabupaten/kota, di provinsi, di pusat tidak bekerja secara terintegrasi. Jalan sendiri-sendiri egonya sendiri-sendiri, kalau diteruskan gak akan rampung persoalan negara, persoalan bangsa ini gak akan rampung,” katanya.
Maka dari itu, ia berharap pertemuan GTRA Summit ini dapat mengintegrasikan seluruh Kementerian/Lembaga terkait agar bisa bekerja sama dengan baik, sehingga persoalan sengketa lahan di masyarakat bisa berkurang secara signifikan.
“Sekali lagi semua lembaga pemerintah harus saling terbuka dan saling bersinergi. Kemudian, saya ingatkan lagi saya tidak bisa mentoleransi, mentolerir terjadinya kerugian negara, terjadinya kerugian masyarakat yang disebabkan oleh ego sektoral dan ego lembaga. Sudah, itu sudah stop. Cukup. Stop. Persoalan dimulai dari sini. Semuanya harus membuka diri. Ini lah saatnya (dalam) forum ini harus kita hancurkan yang namanya tembok sektoral dengan kalau di dalam reforma agraria kita mengenal kebijakan satu peta,” tegasnya.
Pemberian Sertifikat HGB Kepada Masyarakat yang Tinggal di Atas Laut
Pemerintah akhirnya memberikan sertifikat tanah kepada Suku Bajo di Sulawesi Tenggara, yang selama ini tinggal di atas air atau laut. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil mengungkapkan sertifikat ini diberikan dalam bentuk Hak Guna Bangunan (HGB) selama 30 tahun dan dapat diperpanjang kembali.
Dengan bekerja sama dengan pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pemerintah, ujar Sofyan, juga akan menerbitkan HGB untuk masyarakat yang tinggal di perairan di 23 provinsi lainnya.
“Mereka umumnya tinggal di atas air dan sudah cukup lama. Dengan kita berikan sertifikat ini, mudah-mudahan mereka bisa mengakses lembaga keuangan formal, dan bisa meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka, dan memberikan kepastian hukum kepada mereka,” ungkap Sofyan.
Dalam kesempatan ini, setidaknya sebanyak 525 sertifikat hak atas tanah dalam bentuk HGB telah diberikan kepada masyarakat Suku Bajo. Selain itu, pemerintah akan menyerahkan sebanyak 6.437 sertifikat tanah kepada masyarakat yang tinggal di seluruh provinsi Sulawesi Tenggara.
Sofyan berharap dengan kolaborasi dan integrasi antar Kementerian/Lembaga terkait maka lebih banyak lagi masyarakat akan bisa mendapatkan sertifikat tanah, yang selama ini sudah lama diperjuangkan. [gi/lt]