Dalam pidatonya, Jokowi menekankan peran air yang sangat sentral bagi kehidupan manusia. Menurutnya, kekeringan akan berdampak pada melambatnya perekonomian di masa yang akan datang dan menimbulkan berbagai permasalahan serius lainnya.
“Bank Dunia memperkirakan kekurangan air dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi sampai 6 persen hingga tahun 2050. Kelangkaan air juga dapat memicu perang serta bisa menjadi sumber bencana,” ungkapnya.
Sebagai tuan rumah penyelenggara WWF, Jokowi membeberkan sejumlah upaya pemerintahannya selama ini untuk senantiasa memperkuat sarana dan prasarana infrastruktur air di dalam negeri, diantaranya dengan membangun 42 bendungan, 1,18 juta hektare jaringan irigasi, 2.156 kilometer pengendali banjir dan pengaman pantai, serta merehabilitasi 4,3 juta hektare jaringan irigasi.
“Air juga kami manfaatkan untuk membangun PLTS Terapung Waduk Cirata sebagai PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara,” jelasnya.
Lebih lanjut, Jokowi menegaskan bahwa forum tersebut sangat strategis untuk merevitalisasi aksi nyata dan komitmen bersama dalam mewujudkan manajemen sumber daya air yang terintegrasi. Untuk itu, kata Jokowi, Indonesia mendorong tiga hal untuk dilakukan secara konsisten, yakni meningkatkan prinsip solidaritas dan inklusivitas, memberdayakan hydro-diplomacy yang konkret dan inovatif, serta memperkuat kepemimpinan politik dalam kerja sama internasional terkait air.
Indonesia juga mengusulkan empat inisiatif baru dalam forum ini, yakni penetapan World Lake Day, pendirian Center of Excellence di Asia Pasifik untuk ketahanan air dan iklim, tata kelola air berkelanjutan di negara pulau kecil, dan penggalangan proyek-proyek air. Inisiatif-inisiatif tersebut menunjukkan komitmen Indonesia dalam memimpin upaya global dalam tata kelola air yang berkelanjutan.
“Air bukan sekedar produk alam, tapi merupakan produk kolaborasi yang mempersatukan kita sehingga butuh upaya bersama untuk menjaganya,” tandasnya.
Presiden WWF Ajak Semua Pihak Menjadi “Pejuang Air”
Presiden World Water Council (WWC) atau Dewan Air Dunia Loïc Fauchon mengajak semua pihak untuk menjadi “pejuang air”. Seruan yang disampaikannya dalam pembukaan WWF ini tentu beralasan. Menurutnya, saat ini tatanan dunia sedang rusak, sumber daya alamnya juga berada dalam bahaya yang besar, sehingga berdampak bagi sebagian besar penduduk dunia yang saat ini sedang menderita.
Keadaan ini, ujarnya sebagai akibat dari kurangnya kesadaran masyarakat global untuk memperbaiki permasalahan yang ada.
“Kita semua ingin memperbaiki situasi ini dan ketidakadilan yang diakibatkannya. Selama forum WWF ini, mari kita wujudkan impian kita, mari kita turun ke dasar air melalui tindakan kita, mari kita bekerja sama untuk menyembuhkannya dari semua penyakit yang kita sebabkan. Kami bekerja untuk masyarakat dan kami bekerja untuk alam, untuk melestarikan dan meningkatkan keanekaragaman hayati serta merevitalisasi ekosistem yang mengelilingi dan mendukung kami,” ungkap Fauchon.
Fauchon mengibaratkan air sebagai sebuah politik, dan di masa depan menurutnya, air juga bisa menjadi suatu bentuk diplomasi atau hydro-diplomacy antara negara satu dengan negara lainnya. Maka dari itu, ke depan suatu negara harus dapat mengidentifikasi permasalahan apa yang menghambat atau mengganggu ketersediaan air.
Dalam kesempatan ini, Fauchon mengatakan dirinya nanti akan memperkenalkan koalisi “Money for Water” pada konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendatang dan mengajak seluruh negara ikut bergabung. Koalisi tersebut nantinya diharapkan dapat membantu negara-negara miskin untuk mengatasi permasalahan air.
“Bergabunglah dengan koalisi Uang untuk Air kami untuk membantu memecahkan masalah pendanaan ini,” serunya.
Terakhir, Fauchon menyerukan kepada seluruh pihak untuk senantiasa menciptakan kerja sama yang menyeluruh untuk dapat memperkuat tata kelola air sedunia, karena masa sentralisme sudah berakhir.
Sementara itu, lewat tayangan video singkat yang diputar dalam KTT itu, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres mengungkapkan bahwa saat ini air berada dalam sebuah ancaman persaingan yang tidak perlu. Konsumsi air yang tidak bijaksana serta polusi parah mewarnai kehidupan umat manusia, imbuh Guterres.
Dalam kesempatan ini Guterres menekankan adanya krisis iklim juga telah mengakibatkan berbagai permasalahan dalam tata kelola air dunia, seperti suhu air yang meningkat ke titik tertinggi baru yang mematikan, gletser yang mencair, ketinggian permukaan air laut yang meningkat, dan aliran sungai yang semakin menyusut.
“Kita perlu menempatkan air sebagai pusat dari seluruh upaya kita dalam bidang iklim, keanekaragaman hayati dan pembangunan berkelanjutan. Mari kita bekerja dan mari kita mengambil tindakan untuk air,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum