Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah akan mulai fokus membidik penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan dalam penyediaan listrik kepada masyarakat.
Hal ini disampaikan Jokowi ketika merespons pembangunan PLTU Indramayu, di Jawa barat berkapasitas 2 x1.000 megawatt (MW) yang batal karena Japan International Cooperation Agency (JICA) menghentikan pemberian pinjaman pada Juni tahun lalu.
Negeri Sakura itu juga dilaporkan menghentikan pinjaman untuk proyek ekspansi batu bara Matarbari 2 di Bangladesh.
Ia menegaskan, bahwa pemerintah tidak akan membangun PLTU batu bara yang baru selama tidak dirasakan mendesak.
“Kalau ada PLTU itu harus super critical, semuanya standar-standarnya itu saya kira di Kementerian ESDM tahu semua,” ungkap Jokowi usai menghadiri panen raya di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Jumat (13/10).
Adapun energi hijau yang akan dikembangkan oleh pemerintah untuk penyediaan listrik ke depan adalah seperti hydro power, solar panel, energi angin hingga panas bumi.
“Semua yang berkaitan dengan kebutuhan listrik secara nasional kita dukung, tetapi sekarang ini kita mulai bergeser ke energi hijau,” jelasnya.
“Saya kira di Jawa Barat nanti ada satu yang gede yang mau kita resmikan di Cirata,” tambahnya.
Sebelumnya, dalam Peraturan Presiden No.112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, pemerintah telah resmi melarang pembangunan PLTU batu bara dan percepatan pensiun PLTU batu bara.
Namun, faktanya dalam aturan tersebut tidak semua pembangunan PLTU batu bara dilarang. Terdapat pengecualian untuk PLTU batu bara yang telah ditetapkan dalam rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum Peraturan Presiden tersebut diberlakukan.
Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Didit Haryo Wicaksono mengatakan langkah Jepang yang menghentikan pembiayaan untuk proyek ekspansi batu bara menandakan tren yang cukup positif, dimana dunia secara bertahap mulai meninggalkan energi batu bara.
“Jika Pak jokowi melihat sinyal Jepang diatas sebagai sesuatu yang positif untuk pengembangan energi terbarukan tentu ini langkah yang bijak apalagi Indonesia memiliki komitmen yang ambisius dalam rangka pengurangan emisi global di tahun 2030,” ungkap Didit.
Meski begitu, ia menilai jika pemerintah masih memberikan ruang untuk membangun PLTU batu bara, maka pengembangan energi terbarukan ke depan tidak akan maksimal.
“Tapi dengan tetap memberikan ruang bagi batu bara untuk dibangun meski dengan prasyarat menggunakan teknologi super critical atau bahkan ultra super critical, hal ini akan mengkhianati langkah bijak tersebut, karena penggunaan teknologi super critical atau bahkan ultra super critical tidak akan signifikan mengurangi komitmen pengurangan emisi Indonesia,” jelasnya.
Ia melihat pernyataan presiden yang menyebutkan bahwa kalaupun ada pembangunan PLTU batu bara harus dengan syarat super critical tersebut merupakan bagian dari legitimasi pembangunan PLTU captive (kawasan) yang memang sedang digenjot oleh pemerintah untuk mendukung industri ekstraktif, seperti nikel dan alumunium.
“Jadi, selama ruang untuk industri batu bara masih diberikan maka selama itu pula ruang pengembangan energi terbarukan tidak akan maksimal dan mengalami penghambatan,” katanya.
Ia tidak menampik bahwa terdapat kemajuan dalam pengembangan energi hijau di tanah air. Namun ia menggarisbahwahi, kemajuan tersebut tidak akan cukup untuk mengejar komitmen Indonesia untuk pengurangan emisi di tahun 2030 mendatang. Hal ini ditambah dengan lemahnya regulasi pengembangan energi terbarukan.
“Berdasarkan data Kementerian ESDM, pemanfaatan energi terbarukan nasional pada 2022 baru mencapai 12,3 persen dari target 23 persen pada 2025 jika ingin mencapai pengurangan emisi di tahun 2030. Tahun 2020 baru tercapai sebesar 11,5 persen. Artinya selama 2 tahun hanya ada peningkatan sebesar 0,8 persen,” pungkasnya. [gi/ah]
Forum