Presiden Joko Widodo angkat bicara terkait kemungkinan pemerintah yang akan menaikkan harga BBM subsidi dalam waktu dekat. Jokowi mengatakan, sejauh ini pemerintah belum memutuskan kebijakan apa yang akan diambil.
Ia menegaskan, pihaknya masih memperhitungkannya secara seksama.
“BBM semuanya masih pada proses dihitung, dikalkulasi dengan hati-hati. Masih dalam proses dihitung dengan penuh kehati-hatian,” kata Jokowi di Tembagapura, Mimika, Papua, Kamis (1/9).
Sebelumnya pemerintah, lewat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengumumkan akan memberi perlindungan sosial tambahan senilai Rp24,17 triliun yang akan cair pada September ini. Bantuan sosial (bansos) baru ini terdiri dari tiga jenis.
Yang pertama akan dibagikan ke 20,65 juta keluarga penerima manfaat, berupa bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp150 ribu per keluarga sebanyak empat kali, dengan nilai total anggaran mencapai Rp12,4 triliun.Yang kedua, bantuan subsidi upah (BSU) yang akan dibagikan kepada 16 juta pekerja yang memiliki gaji maksimal Rp3,5 juta per bulan. akan memperoleh Rp600 ribu, Dengan total anggaran Rp9,6 triliun, bantuan ini akan dibagikan sebesar Rp600 ribu per orang.
Yang ketiga, pemerintah daerah lewat Peraturan Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri diwajibkan menganggarkan dua persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) untuk diberikan kepada rakyat dalam bentuk subsidi transportasi umum, termasuk ojek, dan nelayan.
Masih Ada Ruang Fiskal yang Cukup Sehat
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan terlalu besar risiko yang akan ditanggung oleh perekonomian dalam negeri, jika harga BBM subsidi dinaikkan pada saat ini.
Apalagi, katanya, tambahan perlindungan sosial yang digelontorkan pemerintah tidak akan cukup untuk menanggung beban yang dipikul oleh kalangan masyarakat miskin dan kalangan masyarakat yang rentan miskin, termasuk pelaku UMKM dan pekerja di sektor informal.
“Sekarang, antara pilihannya menghemat subsidi, tapi di sisi yang lain harus mengeluarkan perlindungan sosial yang lebih besar. Ya lebih baik menahan dulu harga BBM subsidi, karena hitung-hitungan kasar butuh anggaran Rp200 triliun tambahan dari anggaran perlindungan sosial yang ada sekarang untuk meng-cover semua yang kena dampak, termasuk pelaku usaha UMKM yang jumlahnya 64 juta unit, itu kompensasinya belum ada," kata Bhima kepada VOA.
"Kemudian untuk pekerja informal yang jumlahnya 81 juta orang, itu juga belum ada. Karena subsidi upah di bawah gaji Rp3,5 juta per bulan, itu relatif pekerja sektor formal," tambahnya.
Lebih jauh ia memaparkan dampak yang akan dihasilkan oleh kenaikan harga BBM nanti begitu menakutkan, dan kemungkinan memunculkan efek domino yang akan terasa hingga 2024.
“Itu akan menimbulkan scaring effect, jadi inflasinya akan persistent, daya beli yang terpukul itu bahkan sampai 2024 masih terdampak, masih dirasakan efek dari kenaikan harga BBM tahun,” tuturnya.
Ia menyarankan agar pemerintah tetap menahan harga BBM bersubsidi. Menurutnya, ruang fiskal di dalam APBN masih akan sehat apabila harga BBM bersubsidi masih dipertahankan.
Bhima menjelaskan, banyak anggaran negara yang bisa dihemat untuk kemudian dialihkan untuk BBM bersubsidi beserta kompensasinya, seperti proyek strategis nasional yang tidak mendesak, penyisihan anggaran dari kementerian/lembaga untuk pengadaan barang dan jasa, kemudian penghematan dari anggaran belanja pegawai dan anggaran dari pembayaran bunga utang.
“Jadi tanpa menaikkan harga BBM, sebenarnya masih banyak jalan, untuk menjaga fiskal kita tetap sehat,” tegas Bhima.
Senada dengan Bhima, Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal menjelaskan kebijakan untuk menaikan harga BBM subsidi bukan keputusan yang cukup baik setidaknya untuk saat ini.
Pemerintah, kata Faisal, memang dihadapkan kepada dua pilihan yang berat yakni menyelamatkan perekonomian dalam negeri dan menyehatkan fiskal. Namun, ia menilai saat ini masih ada ruang fiskal yang lebih sehat apabila harga BBM bersubsidi tetap dipertahankan.
Ia menjelaskan, kondisi fiskal saat ini jsutru lebih baik dari sebelumnya, dimana hingga Juli, APBN masih surplus hingga Rp100 triliun. Menurutnya, hal tersebut berkat windfall profit yang didapat dari kenaikan harga komoditas yang cukup tinggi, yang belum pernah didapat Indonesia bahkan sebelum adanya pandemi.
“Kalau kemudian subsidi ditambah untuk supaya BBM bersubsidi tidak naik, perhitungan saya tidak sampai lebih dari Rp100 triliun tambahannya. Jadi nanti defisitnya akan melebar dari estimasi Kemenkeu 3,9 persen menjadi 4,2-4,3 persen dari PDB. Artinya itu masih di bawah target pemerintah, jadi risiko hanya segitu. Tapi dampaknya kepada ekonomi besar sekali, apalagi kalau direncanakan naik 30 persen rata untuk semua BBM yang bersubsidi dan yang tidak bersubsidi juga,” kata Faisal.
Core Indonesia, kata Faisal, menghitung, untuk setiap kenaikan harga BBM 10 persen bisa menaikkan inflasi hingga 1,2 persen. Ini artinya inflasi umum pada akhir tahun ini bisa mencapai 8-9 persen.
Dengan inflasi sebesar itu, kalangan menengah ke bawah akan semakin terpukul. Apalagi pada Juli lalu, inflasi pangan sudah mencapai 11,5 persen, di saat angka inflasi umum mencapai 4,94 persen.
“Terutama bagi kalangan menengah ke bawah ini tekanannya paling besar. Jadi akan menurunkan bukan hanya daya beli, tapi daya beli untuk makan. Jadi kalau kalangan menengah atas yang turun mungkin daya beli untuk hal-hal yang tersier atau tidak esensial," kata Faisal.
"Bahkan mungkin kalau kalangan orang kaya mungkin tidak berkurang sama sekali tabungannya karena banyak yang diuntungkan dalam kondisi speerti ini. Jadi masalahnya adalah di kalangan menengah ke bawah yang tekanannya sangat berat. Jadi ongkos ekonominya lebih besar menurut saya dibandingkan dengan risiko fiskal tadi,” imbuhnya. [gi/ab]
Forum