Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kebijakan pelarangan ekspor bijih bauksit dilakukan semata-sama guna mewujudkan kedaulatan sumber daya alam (SDA). Selain itu, langkah ini juga diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah di dalam negeri sehingga akan tercipta lapangan kerja seluas-luasnya.
Peningkatan penerimaan devisa serta pertumbuhan perekonomian yang lebih merata di masa depan juga diharapkan dapat terwujud, katanya.
“Oleh karena itu,pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan industri pengolahan SDA di dalam negeri. Ekspor bahan mentah akan terus dikurangi, hilirisasi industri berbasis SDA di dalam negeri akan terus ditingkatkan,” ungkap Jokowi dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (21/12).
Menurutnya kebijakan serupa telah terbukti meningkatkan pendapatan negara yang berlipat ganda, dibandingkan hanya mengekspor bijih mentah semata. Jokowi mencontohkan, pada 1 Januari 2020 lalu, pemerintah secara resmi melarang ekspor bijih mentah nikel.
Hasilnya cukup menggembirakan dimana yang tadinya ekspor bijih mentah nikel hanya menghasilkan Rp17 triliun atau USD1,1 miliar di akhir tahun 2014 menjadi Rp326 triliun atau USD20,9 miliar pada tahun 2021. Ia pun memperkirakan nilainya akan terus melonjak pada tahun ini hingga mencapai lebih dari Rp468 triliun atau lebih dari USD30 miliar.
“Ini baru satu komoditi saja. Oleh sebab itu, keberhasilan ini akan dilanjutkan untuk komoditas yang lain dan mulai Juni 2023 pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit dan mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri,” tegasnya.
Jokowi memperkirakan pendapatan negara yang bersumber dari industrialisasi bijih bauksit di dalam negeri akan meningkat dari hanya Rp21 triliiun menjadi sekitar Rp62 triliun.
“Pemerintah akan terus konsisten melakukan hilirisasi di dalam negeri agar nilai tambah dinikmati di dalam negeri untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat,” tambahnya.
Kesiapan Industri
Dalam kesempatan yang sama, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan kebijakan pelarangan ekspor bijih bauksit ini dilakukan karena industri di dalam negeri yang dinilai sudah siap. Di Tanah Air, katanya, sudah terdapat empat fasilitas pemurnian bauksit dengan kapasitas alumina sebesar 4,3 juta ton.
Selain itu, pemurnian bauksit yang saat ini sedang dalam tahap pembangunan nanti akan memiliki kapasitas 27,41 juta ton dengan kapasitas produksi yang mencapai 4,98 juta ton.
“Cadangan bauksit kita besar 3,2 miliar dan ini bisa memenuhi kapasitas sebesar 41,5 juta ton. Jadi dari jumlah smelter yang disiapkan delapan tersebut masih bisa 12 smelter lain dan ketahanan daripada bauksit kita antara 90-100 tahun masih cukup reserve yang ada,” ungkap Airlangga.
Ia juga menambahkan bahwa produk turunan daripada bijih bauksit ini cukup beragam, mulai dari alumina hinggaalumunium. Dari alumunium tersebut, katanya, akan tercipta produk turunan berupa batangan atau dalam bentuk flat yang akan digunakan oleh industri yang telah mempunyai ekosistem termasuk industri permesinan dan industri konstruksi.
Ketika ditanya, apakah jenis komoditas bahan tambang mineral lainnya akan diberlakukan kebijakan yang sama cepat atau lambat? Baik Airlangga maupun Jokowi menjawab bahwa semuanya akan terlebih dahulu dievaluasi.
“Untuk komoditas lain semuanya dikalkulasi, dihitung mengenai kesiapan industrinya. Begitu industrinya setengah siap, gak usah harus siap, setengah siap langsung kita hentikan, kita paksa untuk segera industrinya diselesaikan sehingga dari kasus perjalanan nikel ini kita banyak sekali belajar,” tambah Jokowi.
Jokowi juga menegaskan, bahwa kebijakan ini bukan menandakan bahwa Indonesia tertutup. Pemerintah, katanya, sangat terbuka mempersilahkan negara manapun untuk bersama-sama membangun industri yang berkaitan dengan nikel, bauksit, tembaga, timah dan barang tambang mineral lainnya di Indonesia.
“Mau kerja sama dengan BUMN silahkan, dengan swasta silahkan. Mendirikan sendiri silahkan. Tapi kita ingin yang namanya pajak itu ada di dalam negeri, yang namanya PNBP ada di dalam negeri. kalau kita ikut join, yang namanya dividen, itu ada di dalam negeri, yang namanya royalty ada di dalam negeri. dan yang namanya kesempatan kerja ada di dalam negeri. yang kita inginkan itu, masa gak boleh, kita akan terus,” tutur Jokowi.
Tantangan dan Pesaing Berat
Ekonom dari CORE Indonesia Muhammad Faisal mengungkapkan bahwa konsep hilirisasi industri dari bahan tambang mineral ini cukup baik karena bisa mendatangkan nilai tambah lebih di tanah air. Selain itu, dalam rantai pasok global, katanya, Indonesia bisa dipandang memiliki kasta paling rendah kalau hanya berperan mengeskpor sebuah bahan mentah mineral saja.
Meski begitu, berbeda dengan nikel, pemerintah akan menghadapi tantangan yang jauh lebih berat dalam melakukan hilirisasi industri bauksit tersebut. Merujuk pada pernyataan Kementerian Perindustrian, ungkap Faisal, bahwa yang disasar daripada hilirisasi bauksit adalah industri semi konduktor, maka pemerintah perlu bekerja lebih keras. Pasalnya saat ini, industrinya sudah established dan memiliki pesaing yang cukup banyak dan berat.
“Kita tahu Taiwan salah satunya. Dan yang paling besar adalah China yang merupakan produsen semi konduktor yang paling besar kemudian ada Korea. Jadi kalau Indonesia ingin masuk ke dalam itu bagus. Tapi tantangannya tidak mudah. Mungkin menarik investasinya tidak akan secepat nikel karena investornya juga akan menimbang-nimbang dari sisi persaingan dan sebagainya,” ungkap Faisal kepada VOA.
Maka dari itu, katanya, sebelum memberlakukan kebijakan pelarangan ekspor sebuah bahan mentah mineral, pemerintah harus melakukan kalkulasi terlebih dahulu.
“Jadi yang disasar dari hilirisasi industri ini sampai kemana? Dan bagaimana market-nya? Karena kalau kita mau mendorong hilirisasi ini harus ada market driven dalam artian ini ada yang beli atau engga? Dan juga pesaingnya siapa? Nah kalau dari bauksit ini pesaingnya lebih ketat dan kuat dibandingkan dengan kendaraan listrik yang baru berkembang,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum