Jokowi menambahkan bahwa kebijakan subsidi ini sebetulnya dilakukan oleh banyak negara.
“Banyak yang menyampaikan kenapa kita memberikan insentif kepada pembeli mobil listrik yang angkanya juga sangat besar. Seingat saya kendaraan bermotor Rp7 juta, mobil listrik disubsidi kurang lebih Rp70 juta. Ini untuk apa? Ya karena negara lain juga melakukan itu. Contohnya, Thailand memberikan subsidi kepada mobil listrik 68 (juta rupiah). Kalau kita di bawah itu, investasi semua akan pergi ke sana, tidak akan pergi ke Indonesia,” ungkap Jokowi, dalam sambutannya di Hari Konstitusi dan HUT MPR RI, di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (18/7).
Lebih jauh, mantan gubernur DKI Jakarta itu menekankan kebijakan itu merupakan salah satu contoh kebijakan pemerintah yang adaptif dengan perubahan dunia yang sangat dinamis dan cepat. Pemberian subsidi, kata Jokowi, bisa mengundang investasi.
“Oh negara lain begitu, kita harus menyesuaikan lebih baik. Oh, kompetitor kita seperti itu, berarti kita harus bagaimana? Itu yang harus dirumuskan. Kita harus pelajari apa yang dilakukan oleh negara lain, dan kita harus adaptif. Jika competitor melakukan perubahan kebijakan, kita juga harus, dan kebijakan kita harus lebih baik dari mereka. Sehingga sekali lagi fleksibilitas itu sangat penting,” tuturnya.
Pemerintah, katanya, tidak boleh terbelenggu dengan aturan-aturan kaku yang menghalangi visi dan misi.
“Beri kebebasan kepada eksekutif agar lincah dalam menghadapi perubahan dan ketidakpastian, yang tentu saja harus disertai pengawasan yang efektif. Artinya menurut saya, aturan itu harus memberikan ruang fleksibilitas, sehingga kita bisa bergerak cepat dalam memanfaatkan peluang untuk memenangkan persaingan, untuk memenangkan kompetisi dengan negara-negara lain. Karena di era kompetisi seperti sekarang ini, untuk bisa menang kita harus bisa lebih baik dibandingkan dengan competitor, dengan negara lain,” jelasnya.
Kebijakan Subsidi Tidak Selesaikan Masalah
Juru kampanye Kota Isu Urban Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) Abdul Ghofar memaparkan sedari awal pihaknya menolak kebijakan pemberian insentif bagi masyarakat yang ingin membeli kendaraan listrik pribadi.
Ia menjelaskan, dengan jumlah subsidi yang mencapai Rp7 triliun, seharusnya pemerintah bisa memanfaatkannya untuk membenahi sarana dan prasarana transportasi massal yang masih amburadul di berbagai kota-kota besar di Indonesia. Situasi itulah, katanya, yang membuat banyak masyarakat enggan beralih ke transportasi massal.
“Upayanya, misalnya, pembatasan kendaraan. Upaya meminimalisir jumlah kendaraan dengan akselerasi perbaikan transportasi publik yang lebih terintegrasi, masuk ke wilayah pemukiman. Jadi uang subsidi kendaraan lsitrik yang diarahkan ke industri dan ke pemakaian pribadi sebetulnya bisa dialihkan untuk perbaikan transportasi publik yang terintegrasi dan masuk ke kawasan persebaran pemukiman penduduk. Tidak hanya di Jakarta, harusnya itu bisa menyasar mulai ke Serang, ke Bandung, ke kota-kota besar yang mengarah kepada masalah yang sama yakni peningkatan masalah polusi udara,”ungkap Ghofar.
WALHI juga melihat, subsidi kendaraan listrik justru bisa memicu kemacetan, karena mendorong banyak orang untuk membeli.
“Dan ini hanya mengganti kendaraan saja, tidak menyelesaikan persoalan kelebihan kendaraan. ,” tuturnya.
“Artinya jika elektrifikasi kendaraan berlangsung masif, ya sama konsumsi energi yang bersumber dari energi fosil akan naik. Jadi kendaraannya rendah emisi tapi sumber energinya masih tinggi emisi. Harusnya seiring berjalan, perbaikan transportasinya iya, elektrifikasi transportasi publik iya, nambah armada, nambah koridor tapi berlangsung beriring dengan transisi energi, sumber pembangkit yang mempunyai kontribusi sekian persen terhadap polusi perlahan-perlahan dipensiunkan,” jelasnya.
Hal Senada juga diutarakan oleh Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesiaia (MTI).
Berkaca pada negara lain, katanya, subsidi hanya diberikan bila kondisi layanan transportasi umumnya sudah tertata dengan sangat baik.
“Lain halnya dengan di Indonesia yang sekarang sedang mengalami krisis angkutan umum dan krisis kecelakaan lalu lintas. Tentunya, kebijakan kendaraan listrik dapat menurunkan atau mengurangi kedua krisis tersebut. Bukannya, justru dengan kebijakan insentif itu akan menambah masalah baru lagi, yakni kemacetan lalu lintas,” ungkap Djoko.
Ia meyakini, jika pembenahan transportasi massal dilakukan dengan baik maka perlahan namun pasti masyarakat akan beralih meninggalkan kendaraan pribadi mereka untuk kegiatan sehari-hari. Ia melihat anggaran pemerintah cukup besar untuk melakukan perbaikan transportasi massal ini sehingga akhirnya bisa menekan angka kemacetan dan polusi.
Djoko mencontohkan, sebelum tahun 2013 pelayanan KRL Jabodetabek sangat buruk sehingga hanya mampu mengangkut rata-rata 350 penumpang per hari. Namun, setelah dilakukan berbagai pembenahan di segala sisi, dalam kurun waktu lima tahun jumlah penumpang pun melonjak hingga 1,1 juta pada tahun 2018.
Djoko juga mengatakan, pembenahan angkutan umum jangan hanya berfokus di Jakarta saja, tapi jug a di daerah penyangga, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek).
“Bantuan rutin dari APBD DKI Jakarta setiap tahun ke pemda di Bodetabek untuk beberapa tahun dapat difokuskan untuk membenahi layanan angkutan umum di daerah masing-masing,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum