Salah satu yang bersikeras mengganggap skema itu belum tepat diterapkan adalah Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji. Ubaid menilai lembaga-lembaga keuangan di Indonesia belum mampu melakukan pembiayaan pendidikan yang berkelanjutan dan tidak adanya jaminan pasti kapan mahasiswa harus membayar utangnya.
“Kapan itu mahasiswa harus membayar utangnya itu. Apakah seperti di Indonesia yang hari ini akad, bulan depan langsung (bayar) atau nunggu lulus misalnya atau nunggu kerja misalnya. Nah ini kan tidak ada kepastian di Indonesia,” ungkap Ubaid.
Persoalan tersebut, katanya, juga diikuti dengan beberapa permasalahan lain termasuk tingkat kesulitan tes untuk masuk ke perguruan tinggi, dan tingkat keberhasilan mahasiswa untuk lulus. Apalagi, generasi penerus bangsa ini, menurutnya, masih dihadapkan pada persoalan sulitnya mencari kerja.
“Sehingga potensi untuk gagal bayar itu sangat besar. Buat mereka yang jalurnya mulus, artinya dapat kerjaan setelah lulus, banyak juga kan yang harus bekerja dengan gaji di bawah UMR. Kalau misalnya dia harus menanggung (utang, red) selama kuliah, baru pada usia 40-50 tahun akan lunas. Itupun baru lunas urusan ijazah, sehingga memberatkan masyarakat,” jelasnya.
Student loan adalah pinjaman pendidikan dari negara yang dikembalikan tanpa bunga dengan proses cicilan. Proses cicilan dapat dilakukan setelah mahasiswa lulus dengan cara memotong gaji lulusan sekian persen untuk membayar utang dana kuliah yang telah dipakai.
Ia pun menyoroti Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menawarkan pembayaran uang kuliah menggunakan fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol), yang dianggapnya bisa berdampak buruk bagi dunia pendidikan.
“Ini sangat memberatkan mahasiswa karena di ITB itu sampai ratusan mahasiswa itu yang terlilit utang. Nah ini menjadi buah simalakama ketika kampus tidak lagi fokus pada pengembangan akademik, memperdalam research atau ilmu pengetahuan tapi berpikir cuan (mencari keuntungan, red). Akhirnya menjadi tidak maksimal peran-peran kampus dalam mencerdaskan kehidupan bangsa ini,” jelasnya.
Ubaid mengatakan, masih banyak warga Indonesia yang belum bisa mengenyam pendidikan tinggi karena masalah ekonomi. Ia bahkan mengatakan, rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Indonesia pada umumnya adalah sekolah menengah pertama (SMP).
“Itu kenyataan real yang ada di lapangan. Makanya ketika tahun 2012 itu pemerintah membuat program wajib belajar 12 tahun, menjadi pengharap 9 tahun ini sudah selesai lalu lanjut ke 12 tahun. Tapi nyatanya sejak anggaran pendidikan diangkat menjadi 20 persen kemudian ditingkatkan menjadi 12 tahun, yang terjadi dari tahun 2012 sampai sekarang 2023 itu kenaikan usia rata-rata lama sekolah itu naik 1,1 persen saja, yang mulanya 7,6 persen sekarang sekarang 8,7 persen. Artinya, program wajib belajar 9 tahun saja kita sebenarnya belum tuntas, karena rata-rata usia lama sekolah anak kita itu nggak sampai sembilan (tahun),” katanya.
Lebih jauh, Ubaid mengatakan, sebenarnya banyak pilihan atau program yang bisa digunakan untuk membiayai pendidikan bagi anak-anak yang tidak mampu seperti dana abadi pendidikan di berbagai sektor. Namun, berbagai sektor ini cenderung jalan sendiri-sendiri dan lebih mengedepankan ego sektoral, dan hal itulah yang cukup menghambat.
“Kita juga bisa memanfaatkan dana-dana filantropi, karena Indonesia ini termasuk negara yang paling dermawan, dan kita punya banyak sekali lembaga-lembaga filantropi. Tetapi bagaimana kita maksimalkan lembaga-lembaga filantropi ini untuk pengembangan sumber daya manusia baik di jenjang dasar, menengah, sampai dengan perguruan tinggi. Dengan skema-skema yang ada, saya pikir kita bisa memanfaatkan semua resource kita ke arah situ,” tambahnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam beberapa waktu lalu mengatakan bahwa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sedang mengkaji skema student loan untuk membantu mahasiswa-mahasiswi dalam membayar uang kuliahnya.
“Saat ini, terkait dengan adanya mahasiswa yang membutuhkan bantuan pinjaman, kita sedang membahasnya di dalam dewan pengawas LPDP, meminta LPDP untuk mengembangkan kemungkinan untuk men-develop yang disebut dengan student loan,” ungkap Menkeu.
Meski begitu, katanya, di saat yang bersamaan pemerintah juga bersikap waspada mengingat negara-negarayang sudah menerapkan skema tersebu, seperti Amerika Serikat, menghadapi masalah jangka panjang.
Menkeu mengatakan pihaknya juga akan membahas skema student loan dengan pihak perbankan untuk kemudian merumuskan bagaimana affordability dari pinjaman tersebut sehingga tidak memberatkan mahasiswa, mencegah terjadinya moral hazard, dan tetap memberikan afirmasi terutama pada kelompok masyarakat yang tidak mampu.
“Poin saya adalah sesuai dengan yang keinginan kita, Indonesia ingin jadi negara maju dan negara maju identik dengan SDM yang baik kualitasnya, maka kita juga akan terus memperbaiki, mempertajam, meng-address berbagai isu mengenai human capital,” jelasnya.
Lebih jauh, menkeu menjelaskan bahwa LPDP bukanlah satu-satunya lembaga yang bisa membantu peningkatan kualitas SDM tanah air. Bberbagai kementerian/lembaga lainnya, menurutnya, juga memiliki program yang tujuannya juga sama yakni untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar mampu berkompetisi di tingkat global.
Menkeu Sri mencontohkan, Kemendikbud, Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), dan Kementerian Agama sebagai kementerian/lembaga yang juga memiliki fokus untuk meningkatkan kecerdasan anak-anak bangsa.
“Jadi jangan sampai melihat dari satu sisi saja. kalau dari sisi pemerintah, kebutuhan berbagai generasi muda yang memang bervariasi, dan ini mulainya PAUD (pendidikan anak usia dini, red), sampai kepada pendidikan tinggi hingga pasca sarjana. Semuanya sepanjang rantai pendidikan itu, dan tentu kita akan terus mematangkan seluruh program baik itu di bidang pendidikan, dan juga di bidang penelitian dan bidang kesehatan, kebudayaan dan agama,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum