Keraguan Nepal untuk membatasi izin mendaki Gunung Everest dituding banyak pendaki gunung ikut berperan mengakibatkan munculnya situasi yang sulit dan membahayakan jiwa para pendaki.
Mereka mengatakan, terlalu banyak pendaki – termasuk mereka yang tidak berpengalaman -- dalam sebuah rute pendakian mengakibatkan sering terjadinya penundaan pendakian yang sering berakibat fatal.
“Ada lebih banyak orang di Everest dari yang seharusnya,” kata Kul Bahadur Gurung, sekretaris jenderal Asosiasi Pendaki Gunung Nepal, sebuah organisasi yang memayungi agen-agen ekspedisi di Nepal.
Ia mencontohkan, pada musim pendakian yang singkat -- yang terkait oleh cuaca yang memungkinkan pendakian ke puncak, para pendaki terpaksa mendaki sambil berjejer pada sebuah tambang di lereng South Col. Mereka menghadapi resiko kematian pada setiap menitnya karena sering terpaksa menunda pergerakan.
Sebelas orang telah dilaporkan tewas pada musim pendakian kali ini, jumlah tertinggi sejak 2015. Mereka yang tewas diyakini mengalami gangguan kesehatan terkait ketinggian, yang dikarenakan rendahnya asupan oksigen pada elevasi tinggi, yang bisa mengakibatkan sakit kepala, mual-mual, sesak nafas, dan gangguan mental.
Sejumlah pendaki profesional mengatakan, dulu Everest hanya diperuntukkan bagi para pendaki elit. Namun, kini karena maraknya pasar, harga ekpedisi diturunkan secara signifikan, dan kini Everest banyak diburu para pendaki amatir dan penggemar petualangan. Mereka hanya perlu mengajukan surat dokter yang menujukkan bahwa mereka secara fisik mereka sehat, namun tidak harus membuktikan bahwa mereka memiliki stamina yang memadai untuk ketinggian yang ekstrem.
Karena ketinggian yang ekstrem, para pendaki hanya memiliki waktu beberapa jam untuk mencapai puncak sebelum terkena gangguan paru-paru yang disebutpulmonary edema, sebuah kondisi yang dicirikan oleh paru-paru yang terisi banyak cairan. Kamp 4 (pada ketinggian 8000 meter) hingga puncak Everest (8850 meter) dikenal sebagai zona kematian. [ab]