Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mencatat hampir 40 ribu masyarakat sipil di Nduga, Intan Jaya, dan Tembagapura mengungsi sejak adanya konflik antara TNI-Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pada 2018-2020.
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay menyebut konflik tersebut telah melahirkan banyak persoalan hukum dan hak asasi manusia (HAM). Salah satunya adalah melonjaknya jumlah masyarakat sipil yang menjadi pengungsi akibat konflik antara pasukan keamanan Indonesia dengan kelompok TPNPB.
"Masih terjadi dan kami akan pastikan ke kawan-kawan di Timika. Angka itu bisa saja bertambah karena jumlah pengungsi di Intan Jaya, dan Tembagapura sedang terjadi. Artinya mereka sedang mengungsi," katanya saat dihubungi VOA, Jumat (13/3).
Emanuel menyatakan para pengungsi dari konflik tersebut tidak ditangani dengan baik oleh institusi negara yang bertugas untuk menangani masalah pengungsian. Padahal pada 2018, pemerintah telah memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.
"Konflik yang terjadi di sini adalah antara kelompok yang menggunakan senjata api. Kalau kita lihat dalam dasar menimbang perumusan Undang-undang No 1 Tahun 2018 jelas menyebutkan tentang fakta Indonesia telah meratifikasi Konvensi Jenewa dan Palang Merah Indonesia (PMI) diharapkan bisa bertugas di waktu damai mau pun masa konflik bersenjata," jelasnya.
LBH Papua mendesak agar negara hadir dan bertanggung jawab dalam penanganan pengungsi akibat konflik. Emanuel menyebut pada praktiknya, masyarakat sipil dan Kementerian Sosial (Kemensos) lah yang menangani pengungsi Nduga di Wamena pada 2018.
Terkait penanganan pengungsi oleh Kemensos, LBH Papua juga mempertanyakan dasar hukumnya. Pasalnya, konflik bersenjata bukan kategori konflik sosial yang dapat ditangani oleh Kemensos. Menurutnya, PMI yang seharusnya bertugas di ketiga wilayah tersebut.
"Ini baru disahkan undang-undangnya tahun 2018. Sementara konflik ini terjadi di tahun yang sama dan berlanjut sampai sekarang di tempat yang berbeda-beda," ujarnya.
"Semestinya sesuai dengan komitmen perumusan undang-undang tersebut negara mendorong agar undang-undang itu diimplementasikan di Papua. Karena lembaga (PMI) tersebut dibentuk untuk mengurus persoalan tersebut salah satunya pengungsian ini," tambah Emanuel.
PMI diminta segera turun ke lapangan untuk menangangi pengungsi Nduga, Intan Jaya dan Tembagapura sesuai dengan perintah Undang Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.
Bila PMI tidak turun menangani pengungsi dari tiga wilayah tersebut, Emanuel mengatakan, hal itu bisa dianggap pengabaian negara terhadap nasib ribuan pengungsi.
“Apabila pengabaian itu benar-benar terjadi,maka sudah jelas masuk dalam kategori pelanggaran HAM," ucap Emanuel.
Kepala Biro Humas PMI Pusat, Aulia Arriani mengaku belum mendapat informasi terkait desakan dari LBH Papua untuk menangani pengungsi akibat konflik di Papua.
"Belum bisa berikan informasi apa-apa. Belum ada arahan dari pengurus kami juga di pusat," katanya kepada VOA melalui pesan online.
Pada awal Maret 2020 sebanyak 1.582 masyarakat sipil di Tembagapura telah mengungsi ke Timika karena konflik senjata. Warga yang mengungsi ke Timika berasal dari beberapa kampung di Tembagapura yakni Longsoran, Batu Besar, Kimbeli dan Banti. Warga yang mengungsi dari Tembagapura ke Timika tersebut karena masyarakat takut atas aksi teror yang dilakukan oleh pasukan sayap militer TPNPB. Kelompok tersebut melakukan pemerasan dan menodongkan senjata api kepada warga.
Sementara itu, Kapolda Papua, Irjen Pol Paulus Waterpauw mengatakan saat ini kondisi keamanan di Tembagapura aman dan terkendali. Satgas gabungan TNI-Polri juga masih bersiaga di Tembagapura hingga waktu yang belum bisa ditentukan.
"Kelompok-kelompok ini ditenggarai memang sudah dimonitor bahwa mereka akan terus mengganggu situasi di sana sehingga anggota kami masih tetap berjaga di sana. Sebagian besar (mengungsi) terjadi di pekan lalu. Warga yang kembali ke Tembagapura belum ada," kata Paulus saat dihubungi VOA.
Lanjut Paulus, satgas gabungan TNI-Polri masih terus mengejar kelompok separatis tersebut dan akan menindak tegas para pelaku teror dan kekerasan terhadap masyarakat di Papua. Namun, satgas gabungan yang berada di Tembagapura terhadangkendala dengan medan yang cukup berat.
"Karena di Tembagapura hari-harinya berkabut tebal. Area yang cerah hanya beberapa menit itu yang menyulitkan ketika kami melakukan pengejaran yang lebih jauh, selain ketinggian yang curam. Itu menjadi kendala kami,” papar Paulus.
Paulus meminta masyarakat untuk percaya kepada TNI dan Polri yang ditugaskan untuk menangani kelompok ini. [aa/ft]