Israel mengobarkan sebuah “perang berskala besar” terhadap pekerja media Palestina, seperti tergambar dalam pembunuhan wartawan Amerika keturunan Palestina Shireen Abu Akleh. Hal itu disampaikan perwakilan jurnalis di hadapan para penyelidik PBB pada hari Kamis (10/11).
“Israel menarget jurnalis-jurnalis Palestina sebagai bagian dari sebuah kebijakan sistemik untuk meredam suara warga Palestina dan membungkam kami,” kata Naser Abubaker, presiden Sindikasi Jurnalis Palestina.
“Kami jurnalis Palestina bukan sekadar menjadi sasaran penganiayaan dan pelanggaran (hukum, red.), tapi sebuah perang berskala besar oleh negara pendudukan.”
Di hadapan sebuah tim penyelidik tingkat tinggi PBB, ia menyatakan bahwa hampir 50 jurnalis Palestina tewas saat melakukan tugas mereka sejak tahun 2000 dan “tak ada satu orang pun yang dimintai pertanggungjawaban.”
Ia mencontohkan kasus Abu Akleh, reporter veteran Al Jazeera yang mengenakan rompi antiperluru dengan penanda “Pers” dan sebuah helm ketika ia ditembak di kepala dalam sebuah operasi militer di kamp pengungsi Jenin, di daerah Tepi Barat yang diduduki Israel, pada 11 Mei lalu.
Naser menggambarkan peristiwa itu sebagai “pembunuhan di luar hukum” dan sebuah “kejahatan perang.” Ia mengatakan, “sejauh ini, enam bulan berlalu tanpa pertanggungjawaban apa pun.”
Militer Israel mengakui untuk pertama kalinya pada bulan September bahwa salah satu tentaranya kemungkinan telah menembak Abu Akleh, dengan klaim salah sasaran, mengira sang wartawan sebagai seorang militan.
Pengakuan itu baru disampaikan berbulan-bulan setelah kejadian, di mana militer Israel sebelumnya berkukuh bahwa tidak mungkin untuk menentukan sumber tembakan mematikan yang menewaskan jurnalis perempuan itu, dengan alasan bahwa tembakan itu bisa saja dilepaskan pihak militan.
Penyelidikan PBB menyimpulkan pada bulan Juni bahwa “tidak ada bukti aktivitas oleh warga Palestina bersenjata di dekat lokasi” ketika ia ditembak.
Pembunuhan Abu Akleh menjadi salah satu topik pertama dalam sebuah rangkaian sidang dengar pendapat yang jarang digelar oleh Komisi Penyelidikan (COI), yang dibentuk oleh Dewan HAM PBB tahun lalu setelah perang selama 11 hari antara Israel dan militan bersenjata di Gaza, untuk menyelidiki akar penyebab konflik Timur Tengah selama puluhan tahun itu.
Rangkaian pertama sidang dengar pendapat yang disiarkan secara live-streaming itu dimulai hari Senin (8/11) lalu dengan fokus pada keputusan Israel untuk mengkategorikan tujuh kelompok masyarakat sipil Palestina sebagai badan “teroris.”
Kepala penyelidikan Navi Pillay mengatakan kepada majelis bahwa tujuan dari dengar pendapat itu adalah “untuk memungkinkan para korban dan penyintas di semua pihak untuk berbicara mewakili diri mereka sendiri.”
Pillay menekankan bahwa COI telah “mengundang pengajuan seluruh pihak dan negara” dan “siap mendengarkan suara-suara alternatif.”
Israel, yang telah menuduh Pillay dan komisioner lainnya memperjuangkan “agenda anti-Israel” dan telah menolak untuk bekerja sama dengan penyelidikan mereka, telah mengecam sidang tersebut. [rd/lt]
Forum