Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk terus membangun hunian vertikal dengan konsep transit oriented development (TOD), tidak hanya di Jabodetabek, namun juga di kota-kota besar lainnya di seluruh Indonesia. Hal tersebut disampaikannya, ketika meresmikan hunian milenial untuk Indonesia di Samesta Mahata Margonda, Depok, Jawa Barat, Kamis, (13/4).
Menurutnya, dengan fasilitas pendukung yang ada, seperti terintegrasi dengan transportasi publik, dan harga yang cukup terjangkau; maka semakin besar kesempatan bagi generasi milenal untuk dapat membeli rumah tinggalnya sendiri.
“Harganya saya kira juga terjangkau, yang ada subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dijual Rp200 juta, yang tidak ada subdidi ada yang Rp300 juta ada yang Rp500 juta, cicilannya juga murah. Sehingga sangat pas sekali kalau untuk hunian anak muda kita, hunian milenials ini,” ungkap Jokowi.
Menurutnya hunian vertikal dengan konsep TOD tersebut akan dibangun di lahan milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang tidak termanfaatkan dengan baik, dan bekerja sama lintas kementerian seperti Kementerian BUMN, dan Kementerian PUPR.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga yakin hunian ini akan menurunkan penggunaan kendaraan pribadi, sehingga kemacetan pun bisa dikurangi.
“Bangun tidur, mandi langsung lompat sudah masuk ke KRL, kemana-mana pun bisa, sehingga kita semuanya tidak tergantung dengan kendaraan probadi, mobil yang memacetkan utamanya di Jabodetabek,” tuturnya.
Upaya Mengatasi Keterbatasan Lahan
Dalam kesempatan yang sama, Menteri BUMN Erick Thohir cukup yakin pembangunan hunian vertikal tersebut akan mampu mengatasi masalah keterbatasan lahan, utamanya di kota-kota besar. Selain itu, dengan harga yang cukup terjangkau maka puluhan juta anak muda Indonesia bisa segera memiliki rumah.
“Bapak Presiden juga bicara 58 persen penduduk Indonesia hari ini di bawah usia 40 tahun, dan juga 81 juta generasi milenials dengan status yang berbeda, belum mendapatkan failitas rumah. Oleh karena itu, kami dengan Kementerian PUPR pada waktu itu berinisiasi untuk mengkoordinasikan seluruh BUMN yang ada seperti Perumnas, BTN, BUMN Karya dan lain-lain dan tentu PT KAI yang mempunyai lahan seperti kawasan hari ini. Kita ingin memastikan bahwa masalah hunian yang disinergikan dengan transportasi umum bisa menjadi solusi untuk menekan penggunaan kendaraan pribadi agar kemacetan bisa dikurangi,” ungkap Erick.
Konsep hunian TOD, kata Erick setidaknya sudah dibangun di tujuh lokasi yakni Depok, Jakarta, Tangerang, Bogor dan Karawang dengan total pendanaan Rp5 triliun dan 8.348 unit. Sampai dengan detik ini, katanya tingkat pembeliannya pun sudah mencapai 65 persen, di mana 41 persen di antaranya dibeli oleh kalangan milenials.
“Kami harapkan, kami bisa terus bisa meningkatkan proyek daripada hunian milenials di berbagai kota ke depannya,” katanya.
Dorong Millenials Punya Rumah
Sementara itu, Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal sependapat dengan pemerintah bahwa kebijakan ini bisa mendorong lebih banyak lagi kaum anak muda Indonesia untuk bisa membeli tempat tinggal mereka sendiri. Pasalnya, pada masa sekarang ini kecepatan kenaikan harga lahan dengan kenaikan pendapatan tidak berbanding lurus.
“Makin cepat pertumbuhan ekonomi, makin cepat juga naik harga lahannya. Sementara peningkatan daripada upah atau pendapatan tidak secepat itu, dan akhirnya generasi makin muda, itu semakin jauh gap antara harga rumah dengan income mereka. Artinya untuk bisa mendapatkan rumah kalau tidak ada solusinya makin lama makin tua untuk bisa beli rumah,” ungkap Faisal.
“Dengan hunian vertikal ini dari sisi harga tentu saja jadi lebih miring, tapi dari lokasi kerja tidak jauh sekali. Sekarang itu, untuk punya rumah tapak yang murah harus jauh sekali. Jadi trade off, antara punya rumah dengan lahan di atas tanah, dengan kedekatan lokasi kerja. Jadi untuk bisa mengatasi itu salah satunya dengan hunian vertikal,” tambahnya.
Namun di sisi lain, ujarnya, pemerintah harus memperhatikan dengan seksama pengaturan terkait batasan kepemilikan lahan. Seperti halnya di negara-negara lain, Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur batasan kepemilikan lahan harus segera dibuat. Pasalnya, jika tidak diatur, maka bukan tidak mungkin harga-harga lahan akan diatur oleh para spekulan atau sekelompok masyarakat yang memliki modal besar untuk membeli lahan yang seluas-luasnya.
“Di banyak negara kepemilikan lahan itu banyak aturannya termasuk masalah luas. Jadi itu yang harus dilakukan oleh pemerintah. Kalau dulu di 2014 sudah pernah ada RUU yang mengatur batasan kepemilikan lahan, tapi RUU tidak lolos. Padahal itu bagus menurut saya untuk menahan laju kenaikan harga lahan. Sehingga kenaikannya tidak secepat sekarang yang membuat gap antara kenaikan harga lahan sama kenaikan pendapatan menjadi semakin lebar,” katanya.
“Ada yang dia beli lahan kemudian dianggurkan, disimpan untuk aset saja, tapi lahannya tidur, ini malahan merusak produktivitas. Bahkan di negara ASEAN, itu tidak boleh spekulasi lahan seperti itu karena membuat ekonomi menjaid tidak produktif,” pungkasnya. [gi/em]
Forum