Ngadiharjo hanyalah sebuah desa sepi di kaki Pegunungan Menoreh yang dulu jarang didatangi orang. Namanya mulai dikenal pada akhir 2017, setelah pemerintah mendirikan Balai Ekonomi Desa (Balkondes) di sana. Balkondes adalah kompleks bangunan tempat bersantai wisatawan, yang menyediakan penginapan dan kuliner lokal.
Ngadiharjo berada empat kilometer di sebelah barat Candi Borobudur. Tak jauh dari kawasan ini, terdapat wisata yang populer di kalangan anak muda, Puthuk Setumbu. Hamid Hartanto, penyelia di Balkondes Ngadiharjo mengatakan Balkondes Ngadiharjo terus berkembang dan kini membutuhkan area bermain anak-anak serta penginapan berukuran besar untuk satu keluarga.
“Tempatnya masih suasana pedesaan. Kami menyajikan menu-menu ala desa. Sekarang kalau dirata-rata kurang lebih seribu wisatawan yang datang ke Balkondes ini setiap bulannya. Mayoritas wisatawan lokal, tetapi kadang ada juga turis asing yang mampir,” kata Hamid Hartanto.
Pengembangan Kawasan Borobudur
Pemerintah telah membangun 20 Balkondes serupa di sekitar Candi Borobudur pada 2017-2018. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diberi tugas membangun setiap titik, yang kemudian diserahkan kepada desa untuk dikelola. Balkondes Ngadiharjo, misalnya, dibangun dari dana sosial Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Menteri Pariwisata, Arif Yahya menyebut, pemerintah serius mengembangkan Borobudur. “Kalau mau membangun destinasi wisata itu, yang disiapkan nomor satu harus komunitasnya dulu. Desa wisata, pendidikan dan yang lainya. Sehingga ketika bandara selesai dan betul menjadi destinasi wisata utama kelas dunia, masyarakat kita sudah siap,” kata Arif.
Arif Yahya menyampaikan itu dalam seminar Legenda Borobudur di Yogyakarta, Jumat (15/2) pagi. Seminar ini dipicu oleh ketertinggalan pengembangan wisata, meski Borobudur memiliki semua yang dibutuhkan untuk menjadi pilihan utama wisatawan. Kenyataanya, kata Arif, jumlah wisatawan asing di Borobudur hanya 250 ribu setiap tahun. Jumlah itu kurang dari sepuluh persen wisatawan asing yang datang ke Angkor Wat di Kamboja, yang mencapai 2,6 juta per tahun.
Hari Rabu (13/02) Wakil Presiden Jusuf Kalla yang baru pulang dari Kamboja menggelar rapat khusus. Dua menteri koordinator dan delapan menteri diundang, termasuk Arif Yahya. Kalla minta upaya serius mengejar Angkor Wat dicanangkan. Apalagi, pemerintah kini sedang membuka gerbang lebih besar bagi Borobudur, yaitu proyek bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang berada di selatan kawasan ini.
“Faktor penting kesuksesan pengembangan destinasi di Indonesia, terutama Borobudur, Jawa Tengah dan DIY adalah aksesibilitas. Angkor Wat 2,6 juta wisatawan di 2018. Borobudur hanya 250 ribu. Masalahnya di mana? Nomor satu adalah akses. Bandara kita di sini kurang lebih kapasitasnya hanya 1,5 juta, jumlah penumpangnya sekitar 6 juta, empat kali lipat. Jadi sudah overloaded, sehingga kalau kita mau mendarat di sini holding time-nya bisa 30 menit,” jelas Arif Yahya.
Perbaikan Akses Wisatawan
Adi Sucipto, sebagai bandara terdekat ke Borobudur juga memiliki kendala landas pacu sehingga tak mampu didarati oleh pesawat berbadan besar. Di samping itu, lalu lintas yang padat memakan waktu perjalanan. Kendala ini tidak dapat diterima oleh wisatawan asing. Rata-rata lama tinggal wisatawan asing di kawasan Borobudur hanya 1,7 hari.
Karena itu, Arif menjanjikan lima tahun setelah bandara baru beroperasi, ada 2 juta wisatawan asing ke Borobudur. Angka itu akan menggelembungkan ekonomi daerah, karena menurut data setiap wisatawan asing membelanjakan rata-rata 1.000 dolar Amerika Serikat.
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen juga memiliki pengalaman terkait akses ke Borobudur. Rombongan wisata kapal pesiar yang berlabuh di Semarang, sulit untuk diajak singgah ke Borobudur karena membutuhkan waktu tiga jam perjalanan. Dengan jalan tol, waktu tempuh bisa dikuragi separuhnya. “Dengan jalan tol Semarang-Yogya via Magelang yang akan segera dibangun, akan mempermudah akses ini,” kata Taj Yasin dalam acara yang sama.
Yasin mengajak pemerintah daerah dan pihak-pihak yang terkait langsung dengan pengembangan Borobudur untuk lebih sering bertemu. Pemerintah pusat telah menetapkan konsep pengembangan kawasan ini tidak mengikuti wilayah administratif. Konsep Jogja-Solo-Semarang (Joglosemar) menyatu dengan menjadikan Borobudur sebagai ikon utamanya.
Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Herman Tony mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah. Sebenarnya, kata dia, konsep pengembangan wisata candi bahkan sudah ditetapkan sejak era SBY. Ketika itu, Menteri Pariwisata Jero Wacik ikut terlibat dalam kesepakatan Menteri Pariwisata Asia Pasifik untuk memprosikan candi-candi di kawasan ini, termasuk di Indonesia, Thailand, dan juga Kamboja dalam skema promosi bersama.
Pariwisata adalah sektor dengan banyak pemegang kepentingan, kata Herman. Karena itulah, di tingkat lokal solusi pengembangan harus dipikirkan bersama antara pemerintah, pelaku industri dan masyarakat. DIY sendiri sudah memiliki panduan pengembangan pariwisata melalui visi gubernur yang menargetkan DIY menjadi destinasi terkemuka Asia pada 2025.
“Perhatikan destinasi, aksesibilitas, konektivitas. Meskipun kita punya banyak destinasi istimewa, tetapi kalau aksesibilitas tidak ada, tentu akan sulit. Contoh yang paling nyata bandara. Ibaratnya banyak orang mau datang ke sini, tetapi sangat terbatas aksesnya. Pembangunan bandara itu jalan keluar yang bagus. Kami dari pelaku pariwisata sudah lama minta supaya volume bandara itu ditingkatkan,” kata Herman Tony.
Indonesia menargetkan kunjungan 17 juta wisatawan asing pada 2018. Jumlah itu tidak tercapai karena dua bencana besar melanda dua tujuan wisata populer, yaitu Bali dan Lombok. Pada 2019, Arif Yahya menetapkan jumlah 20 juta wisatawan asing ke Indonesia. [ns/lt]