Tautan-tautan Akses

Kamboja Mulai Pengadilan Massal Terhadap 120 Tokoh Oposisi


Bendera nasional Kamboja terlihat di Phnom Penh, Kamboja, 7 Oktober 2016. (Foto: REUTERS/Samrang Pring)
Bendera nasional Kamboja terlihat di Phnom Penh, Kamboja, 7 Oktober 2016. (Foto: REUTERS/Samrang Pring)

Pengadilan massal terhadap lebih dari 120 tokoh oposisi Kamboja dimulai di Phnom Penh pada hari Kamis (26/11), di tengah-tengah kekhawatiran PBB bahwa proses itu bermotif politik dan tidak melalui proses hukum.

Kasus ini terkait dengan upaya tokoh pemimpin oposisi yang mengasingkan diri, Sam Rainsy, untuk kembali ke Kamboja tahun lalu dari Prancis. Rainsy tinggal di sana sejak 2015 untuk menghindari penjara atas dakwaan yang menurutnya palsu.

PM Hun Sen adalah salah seorang pemimpin paling lama berkuasa di dunia. Ia mempertahankan 35 tahun kekuasaannya dengan cara-cara yang mencakup pemenjaraan lawan-lawan politiknya dan para aktivis.

Banyak di antara terdakwa dalam persidangan pada hari Kamis (26/11) memiliki kaitan dengan Partai Penyelamat Nasional Kamboja pimpinan Rainsy dan selebihnya adalah para aktivis HAM. Partai itu sendiri dibubarkan atas perintah pengadilan pada November 2017.

Banyak terdakwa telah melarikan diri dari Kamboja karena khawatir ditangkap.

Ney Leak yang berusia 29 tahun adalah aktivis politik oposisi yang menghadapi dakwaan karena memposting pesan-pesan mendukung kepulangan Rainsy. Leak mengatakan ia “tidak bersalah.”

"Ini adalah dakwaan serius. Saya berharap pengadilan akan membatalkannya karena kami tidak melakukan kesalahan apapun,” katanya kepada wartawan.

Aktivis HAM Amerika keturunan Kamboja Theary Seng dituduh bersekongkol melakukan pengkhianatan dan menghasut untuk melakukan kejahatan. “Saya tidak melakukan kesalahan apapun. Ini adalah persidangan palsu. Ini teater politik. Ini sirkus politik,” ujarnya.

Pelapor Khusus PBB mengenai situasi HAM di Kamboja Rhona Smith mengatakan sejak Juni 2019, lebih dari 150 orang yang terkait dengan partai oposisi yang dibubarkan itu telah menghadapi penangkapan.

“Pengadilan massal terhadap aktivis tampaknya bermotif politik, tidak memiliki landasan hukum yang jelas dan merupakan pelanggaran serius atas hak mendapatkan proses hukum, yang dengan tegas ditetapkan oleh hukum hak asasi internasional,” katanya. Ia menambahkan bahwa proses ini merupakan bagian dari strategi untuk mengintimidasi dan mendiskreditkan lawan-lawan pemerintah.

Setelah dua jam, hakim membagi kasus itu menjadi dua, menyusul permintaan para pengacara mengenai tambahan waktu untuk mempersiapkan pembelaan.

Sebagian terdakwa meminta izin untuk memilih kuasa hukum mereka sendiri daripada menggunakan pengacara yang ditunjuk pengadilan.

Sidang diperkirakan akan dimulai pada Januari dan Maret. [uh/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG