Flightless Bird (Burung yang Tak Bisa Terbang) hanyalah animasi pendek. Namun, pesan yang ditawarkan film garapan mahasiswa ini begitu serius sehingga film ini memenangkan lomba film animasi pendek.
Film tersebut diproduksi bersama oleh tiga mahasiswa Binus Jakarta, dan berkisah tentang sebutir telur angsa yang jatuh dari langit dan menetas di kandang ayam.
Anak angsa bernama Kishika itu kemudian hidup dalam lingkungan ayam yang mahir menari ballet. Gaya Kishika menari berbeda dengan ayam-ayam dalam lingkungannya sehingga tak heran kalau Kishika mengalami perundungan, bahkan penganiayaan ketika dua ekor ayam memotong satu sayapnya. Akhir cerita, anak angsa itu membakar dirinya sendiri.
Dua interpretasi
Sutradara, Clarecia Nathaniel, penulis naskah cerita, menjelaskan kepada VOA bahwa kisah dalam film tersebut muncul dari empatinya kepada mereka yang mempunyai masalah kejiwaan seperti depresi, dengan kecenderungan bunuh diri. Menurutnya, orang-orang itu memerlukan bantuan.
“Ternyata yang mengalami itu bukan cuma terjadi pada orang dewasa, tetapi juga pada anak-anak dan remaja. Saya mengangkat isu ini supaya orang lebih memahami dan masyarakat tidak serta merta berpikir jelek tentang kesehatan mental”, ujarnya.
Bunuh diri dalam film animasi itu diartikan bahwa ia bebas dan tak akan ada lagi yang dapat menyakitinya. Namun apakah tindak bunuh diri itu suatu penyelesaian yang bijak? Clarecia menjawab, “Kami memutuskan untuk mengakhiri cerita itu agak open ending ya… jadi sesudah membakar diri, ada adegan di mana ada angsa-angsa terbang di angkasa. Nah itu yang membuka dua interpretasi, dia ada yang menolong dan bergabung dengan angsa yang lain, atau dia mati dan sudah bebas.”
Terserah bagaimana penonton menginterpretasikannya, tambah Clarecia.
Tema yang berani
Awalnya, Flightless Bird adalah film animasi pendek untuk proyek skripsi ketiga mahasiswa. Ketika Universitas Multimedia Nusantara (UMN) menggelar lomba film animasi pendek, mereka mengikutsertakan film tersebut, tanpa harapan besar karena lomba diikuti banyak peserta dari luar Indonesia, seperti Korea Selatan, Filipina, Malaysia dan Singapura. Toh, mereka menang.
Juri lomba, Merry Wijaya yang juga pakar animasi, menyambut baik tema yang diangkat oleh tim mahasiswa yang menyebut diri sebagai grup “Ardiente.” Jarang sekali tema bunuh diri diungkapkan, apalagi dalam film animasi yang dibuat oleh mahasiswa, ujar Merry.
“Mereka melakukan riset dan hasil film yang mereka buat itu, berhasil memberikan cerita dan rasa empati. Jadi penonton bisa lebih merasa kasihan terhadap orang-orang yang di-bully.”
Juri juga menilai aspek pengarahan dan cerita (penyutradaraan), aspek teknis (animasinya), dan aspek teknik suaranya, tambah Merry Wijaya.
Kecerdasan emosional dan spiritual
Menurut Diaz Robertus, SPsi, yang memiliki klinik Terapi Maksimal di Surakarta, dampak bullying dalam lingkungan gen Y dan gen Z sangat besar sehingga terkadang menyebabkan mereka mengambil langkah melukai diri sendiri, bahkan bunuh diri. Mereka merasa bahwa kehidupannya tidak berarti dan menarik diri dari lingkungan sekitarnya.
“Hal itu terjadi menurut saya, karena lingkungan tidak mampu meningkatkan kecerdasan emosional dan spiritual kepada generasi ini. Pada saat mereka merasa gagal, tidak diterima, kecerdasan emosional dan spiritual inilah yang menjadi jangkar bagi mereka untuk tetap memiliki motivasi menjadi pribadi yang lebih baik,” tambah dokter Diaz.
Flightless Bird banyak diisi dengan ayam-ayam yang menari ballet. Untuk membuat tokoh-tokoh itu, Theodora Tania, yang bertugas membuat desain karakter dan lingkungan, mengatakan:
“Saya awali dengan riset sejarah fesyen. Saya mulai dari tahun 1800-an. Dan dari situ saya kembangkan desainnya”.
Ketiga mahasiswa: Clarecia, Tania, dan Joanne, dengan memegang peran masing-masing, memproduksi film tersebut selama satu semester.
Joanne Sydney yang mengetuai pembuatan animasi mengatakan, “Belajar banyak dari referensi bagaimana burung bergerak, karena semua tokohnya kan unggas ya, bagaimana bentuknya, jadi banyak studi tentang burung, api dan unsur-unsur lainnya. Untuk animasinya sendiri, dari story board, baru masuk ke key framing, pewarnaan, lalu post production, yaitu dieditlah videonya.”
Seorang penonton, Dhyang Anggita, mengaku berempati kepada angsa Kishika. Pasalnya, ia juga mengalami perundungan, mirip dengan apa yang terjadi pada Kishika, pemeran utama dalam film itu.
“Sejak kecil saya juga merasa sangat berbeda dengan orang lain dan pernah di-bully. Perlakuan ayam terhadap Kishika mirip dengan apa yang saya rasakan ketika saya kecil. Bagi saya ending film ini sangat shock. Saya menghargai film ini karena ditangani dengan cara yang delicate dan tidak dijadikan sesuatu yang sensasional”.
Mereka bertiga membuat film itu dengan biaya sendiri. Ketika hasil karya mereka meraih kesuksesan, mereka mengaku sangat bangga. Namun yang penting, mereka berharap pesan yang mereka tawarkan dalam film itu, isu bunuh diri akibat rasisme dan perundungan, bisa ditangkap tim juri, penonton, dan nantinya masyarakat luas. [ps/ka]
Forum