Bersama 12 kardinal lain, Mgr. Ignatius Suharyo mengikuti prosesi penobatan di Vatikan, Italia, Sabtu (5/10) lalu. Ia menerima cincin lambang ikatan kesetiaan yang tidak pernah putus.
Dalam amanatnya seusai penobatan itu, Paus Fransiskus menggarisbawahi kembali pentingnya kasih sayang. Mgr. Ignatius Suharyo dalam bahasa Jawa menyebutnya sebagai “pemberian pelayanan sepenuh hati.
“Atau dalam bahasa daerah saya ‘ngegetih’ atau ‘sungguh-sungguh’ atau habis-habisan pelayanannya. Ini tidak ada kaitannya dengan kekuasaan atau finansial,” ujarnya.
Diwawancarai melalui telepon beberapa saat setelah penobatan itu, pria kelahiran Bantul, Yogyakarta, 9 Juli 1950 itu mengatakan merasa sangat bersyukur dengan pengangkatan itu. Karena, kata Ignatius Suharyo, berarti pertama, pimpinan gereja Katolik mengakui bahwa gereja Katolik di Indonesia berkembang dengan baik dan bukan sekedar bertambah pengikutnya. Meski jumlah pengikut salah satu indikasi perkembanga, tapi bukan yang paling penting.
“Kedua, pengangkatan saya sebagai kardinal merupakan pengakuan dan dukungan pimpinan gereja Katholik atas semua yang diupayakan di NKRI, khususnya untuk hidup bersama secara harmonis di antara komunitas-komunitas lintas agama. Ini sangat dihargai,” tegasnya.
Gelar Seumur Hidup
Gelar kardinal akan melekat seumur hidup, tanpa “wilayah kekuasaan” seperti uskup atau pastur paroki. Ignatius Suharyo menjelaskan bahwa tugas pokoknya tetap Uskup Agung Jakarta Jakarta.
“Kardinal itu bukan fungsi. Bukan jabatan. Kardinal adalah gelar kehormatan. Perannya adalah sebagai penasehat Paus, jika diminta,” papar Ignatius Suharyo. Meski bergelar kardinal, Ignatius Suharoyo menegaskan bahwa pemimpin Gereja Katolik di Indonesia tetap 37 uskup yang ada di Indonesia.
“Mereka otonom dan bertanggungjawab langsung kepada Paus,’’ ujarnya.
“Indonesia Raya” Usai Penobatan
Yang menarik selepas penobatan, sejumlah warga Indonesia, termasuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignatius Jonan, yang ikut menyaksikan prosesi luar biasa itu menyambut Ignatius Suharyo dengan lagu-lagu nasional, termasuk lagu kebangsaan “Indonesia Raya.” Kata Ignatius Suharyo, warga Indonesia yang menghadiri penobatan kebanyakan adalah umatnya dari Jakarta.
“Kami di Keuskupan Agung Jakarta sejak tahun 2016 mencanangkan selama lima tahun ke depan pendampingan umat dengan rumus mengamalkan Pancasila. Di setiap tahun, sila-sila itu dipahami dan gagasannya didalami, dijadikan gerakan,” ujarnya.
Ditambahkannya, setiap kali berkumpul dan dalam kesempatan-kesempatan khusus, ia memulai hal yang tidak biasa, yaitu mengajak umat Katolik yang dilayaninya menyanyikan lagu-lagu nasional.
“Sambutan saya paling dua-tiga kalimat. Lalu seluruh peserta saya ajak menyanyi “Satu Nusa Satu Bangsa,” “Rayuan Pulau Kelapa,” “Tanah Airku,” dan lain-lain, supaya cinta tanah air itu tumbuh di dalam umat yang saya layani,” tutur Ignatius Suharyo.
“Nah, kemarin setelah upacara penobatan dan kami berkumpul, mereka pun spontan nyanyi seperti itu : “Indonesia Raya,” “Satu Nusa Satu Bangsa,” segala macam. Itu spontan menjadi ungkapan kecintaan mereka pada bangsa dan negara,” tambahnya.
Siapa Saja Kardinal Baru yang Dilantik Paus?
Tiga belas tokoh yang ditunjuk Paus ini dikenal memiliki reputasi sebagai sosok progresif pada isu-isu sosial, seperti soal imigrasi dan dialog antar-agama.
Pastur Kanada kelahiran Cekoslovakia, Michael Czerny, dikenal sebagai pakar imigrasi. Pilihan pada Czerny mencerminkan keberpihakan Paus pada para imigran. Tiga lainnya merefleksikan kedekatan hubungannya dengan Islam, yaitu Uskup Agung Miguel Angel Ayuso Guixot – yang juga mengepalai departemen dialog antar-agama di Vatikan, Uskup Rabat-Maroko Cristobal Lopez Romero dan Uskup Jakarta-Indonesia Mgr. Ignatius Suharyo.
Satu-satunya orang Italia yang dipilih Paus adalah Uskup Agung Bologna Matteo Zuppi, yang berasal dari komunitas Sant’ Egidio, yang dikenal kerap memperjuangkan nasib kaum miskin, migran, tunawisma dan pengungsi di seluruh dunia.
Ada juga seorang Yesuit asal AS, yang menjadi pimpinan Dewan Kepausan Untuk Dialog Antar Agama, yang dipilih. Dia seumur hidupnya berkecimpung dalam dialog antar-agama, papar Ignatius Suharyo.
“Lalu saya sendiri yang berasal dari Indonesia di mana semua orang tahu Indonesia adalah negara yang istimewa, penduduknya yang paling besar adalah saudara-saudara yang beragama Islam, tetapi hidup secara harmonis dan ini sangat menarik bagi pimpinan Gereja Katolik di sini,” ujarnya. Selain itu juga ada seorang yang selama ini memegang desk untuk mengurusi migran dan perantau – dua isu besar yang juga menjadi perhatian Vatikan, kata Ignatius Suharyo.
Sinode Fokus pada Isu Amazon
Penobatan atau consistory kali ini juga berbeda. Pasalnya, penobatan yang biasanya digelar pada November, dimajukan menjadi Oktober agar bersamaan dengan sinode yang diadakan rutin setip Oktober. Sinode yang berlangsung pada Minggu (7/10) pagi fokus pada kawasan hutan Amazon yang baru mengalami kebakaran hebat.
“Ini simbolik karena secara mendasar Paus ingin mengatakan bahwa gereja sungguh terlibat dengan segala permasalahan yang dihadapi umat manusia. Yang secara lebih konkrit rumusannya adalah kegembiraan dan harapan, keprihatinan dan kecemasan umat manusia menjadi kegembiraan dan harapan, keprihatinan dan kecemasan para pengikut Kristus. Pesannya itu, jelas sekali,” tegas Ignatius Suharyo.
Ignatius Suharyo berencana kembali ke Jakarta minggu depan setelah seluruh prosesi penobatan dan sinode yang dilangsungkan Vatikan berakhir. [em/ft]