Tautan-tautan Akses

‘Karena Aku adalah Aku’: Pengalaman Warga Non-Biner di Indonesia


Chris Derek (kiri) dan Reymi (kanan) menceritakan pengalaman mereka sebagai warga non-biner.
Chris Derek (kiri) dan Reymi (kanan) menceritakan pengalaman mereka sebagai warga non-biner.

Dua warga Bandung bercerita tentang pengalaman mereka sebagai warga non-biner –seseorang yang tidak mengidentikasi diri secara ekslusif sebagai perempuan atau laki-laki.

Chris Derek adalah seorang freelancer dan tutor Bahasa Inggris berusia 23 tahun. Reymi adalah content specialist berusia 22 tahun.

Mereka berdua mengidentifikasi gender mereka sebagai non-biner.

Chris Derek, freelancer, model, desainer grafis dan tutor Bahasa Inggris.
Chris Derek, freelancer, model, desainer grafis dan tutor Bahasa Inggris.

“Waktu aku tumbuh besar, aku sangat familiar dengan kata-kata ‘anak perempuan nggak boleh main mainan yang maskulin kayak mobil-mobilan,’” kata Chris Derek.

“Atau ‘anak laki-laki nggak boleh main boneka, atau barang feminin lainnya’ yang buat aku nggak masuk akal, karena aku pikir semua orang bisa melakukan apa yang mereka mau.”

‘Jiwa tidak selaras tubuh’: pengalaman gender dysphoria

Reymi dan Chris Derek mengaku pernah mengalami gender dysphoria – perasaan tidak nyaman yang dialami seseorang yang identitas gendernya berbeda dengan jenis kelamin sesuai kelahirannya, menurut situs Mayo Clinic.

“Aku ngerasa jiwaku sama tubuhku ini nggak selaras. Tapi itu bukan selalu berarti aku perlu transisi ke seks biologis tertentu,” kata Chris Derek.

Reymi, content specialist dan social media manager.
Reymi, content specialist dan social media manager.

“Waktu aku SD, SMP, banyak yang nge-bully karena suaraku kayak perempuan. Mereka persepsi sebagai seorang yang bukan laki-laki. Tapi kenapa waktu sekarang waktu aku sudah menerima diri dengan identitasku yang non-biner, mereka paksain mengidentifikasiku sebagai laki-laki,” ujar Reymi.

“Jadi kontradiksi yang seperti itu … yang akhirnya menimbulkan reaksi psikologis yang aku sebut tadi salah satunya gender dysphoria.”

Reymi: Mengekspresikan diri secara maskulin, bukan karena 'aku laki-laki.'
Reymi: Mengekspresikan diri secara maskulin, bukan karena 'aku laki-laki.'

Reymi juga katakan beberapa orang mempertanyakan identitas non-binernya karena kerap ‘berdandan’ maskulin.

“Aku mengekspresikan genderku sebagai maskulin bukan karena aku laki-laki, tapi karena aku adalah aku.”

Apa itu non-biner?

Menurut KBBI, biner berarti serba dua atau ditandai oleh dua bagian. Sistem gender biner artinya hanya ada dua gender – laki-laki dan perempuan.

Chris Derek: Gender dysphoria bukan selalu berarti harus 'transisi.'
Chris Derek: Gender dysphoria bukan selalu berarti harus 'transisi.'

Non-biner, seperti yang tertulis dalam situs Human Rights Campaign, adalah kata sifat yang menggambarkan seseorang yang tidak mengidentifikasi diri mereka secara eksklusif sebagai perempuan atau laki-laki.

Menurut Reymi, sistem gender biner ‘membatasi dan terlalu menyederhanakan pengalaman manusia.’

“Seharusnya setiap orang itu punya kebebasan dalam merasakan dan mengidentifikasi gender mereka sesuai kondisi yang mereka alami,” lanjut Reymi.

Panggilnya, Bapak atau Ibu?

Tidak asing lagi, warga Indonesia kerap dipanggil ‘Bapak’ atau ‘Ibu’ atau panggilan berbasis gender lainnya – dari rapat di kantor hingga makan di restoran.

Perlukah kita panggil 'Bapak' atau 'Ibu' jika tak ada hubungan pribadi? (Foto: Ilustrasi)
Perlukah kita panggil 'Bapak' atau 'Ibu' jika tak ada hubungan pribadi? (Foto: Ilustrasi)

Chris Derek dan Reymi merasa lebih nyaman dipanggil dengan panggilan yang netral gender seperti, ‘kakak,’ ‘adik,’ atau panggil nama saja.

Dr. L. Ayu Saraswati, associate professor Women’s Studies di University of Hawai’i Mānoa, sebut ada baiknya kita tidak mengasumsi gender seseorang, termasuk saat kita seseorang itu ‘tidak terbaca gendernya.’

“Kalau misalnya kita memang dalam dunia profesional, kita bisa bertanya, ‘Anda nyaman dipanggil apa?’”

Dr. L. Ayu Saraswati telah 10 tahun mengajar di Hawaii.
Dr. L. Ayu Saraswati telah 10 tahun mengajar di Hawaii.

“Tapi kalau misalkan kita di restoran ... Itu bukan urusan kamu, istilahnya, kalau tidak tidak ada hubungan pribadinya. Kita bisa, ‘Halo, selamat siang. Apa kabar?’” lanjut Ayu. “Kenapa kamu ingin tahu juga?”

Kalau ke toilet umum?

Tidak sedikit netizen yang bertanya – kalau warga non-biner harus ke toilet umum, pilihnya toilet perempuan atau ke toilet laki-laki?

Reymi katakan ia “cari aman” dengan menggunakan toilet pria, mencatat “kita belum hidup di masyarakat yang ideal.”

Chris Derek menceritakan ia sering kali merasa tidak nyaman di toilet pria, karena pengalaman pribadinya.

Toilet umum berbasis gender. (Foto: Ilustrasi)
Toilet umum berbasis gender. (Foto: Ilustrasi)

“Karena mungkin selama tumbuh dikelilingin sama cowok-cowok yang kalau bercanda itu kelewatan, melanggar batas-batas personal,” kata Chris Derek.

“Ketika masuk ke toilet cowok pasti selalu was-was. ‘Ini bakal diisengin nggak, ya? Atau bakal dijahilin nggak, ya?'” lanjutnya. “Kalau aku merasa nyaman dengan tempat tersebut, aku akan masuk ke (toilet pria itu). Tapi kalau aku nggak nyaman, aku nggak masuk sama sekali. Aku tahan sampai pulang.”

Apakah Gender Non-Biner itu ‘LGBT?’

Ayu katakan gender (seperti biner dan non-biner) dan orientasi seksual (seperti gay dan lesbian) adalah dua hal yang berbeda.

“Gender itu bagaimana kita mesti mengekspresikan diri kita sendiri,” jelas Ayu.

“Kalau orientasi seksual adalah ketertarikan seksual terhadap orang lain.”

Gender dan orientasi seksual adalah dua hal yang terpisah. (Foto: Ilustrasi)
Gender dan orientasi seksual adalah dua hal yang terpisah. (Foto: Ilustrasi)

“Jadi orang non-biner itu bisa aseksual atau tidak tertarik sama siapa-siapa. Bisa homoseksual, bisa tertarik sama siapa aja. Jadi tidak ada kaitannya, gitu lho,” lanjutnya.

Non-Biner 'Cuma Bingung'?

Saat ditanya tanggapan terkait orang-orang yang menyebut mereka ‘cuma bingung,’ Chris Derek akui dulu pernah sempat merasa bingung.

“Karena dulu emang nggak dapet penjelasannya, nggak dapet edukasinya. Mungkin mereka bisa berpikir seperti itu karena mereka belum tahu apa non-biner itu, dan bagaimana seseorang mengidentifikasi diri sebagai non-biner.”

Sementara, Reymi tekankan non-biner bukanlah konsep yang asing di Indonesia. Ia mencontoh masyarakat Bugis yang mengenali gender di luar perempuan dan laki-laki, salah satunya adalah Bissu.

Warga Bissu dari suku Bugis bersiap-siap untuk tampil. (Foto: Dok. Reuters)
Warga Bissu dari suku Bugis bersiap-siap untuk tampil. (Foto: Dok. Reuters)

“Jadi kalau ada orang yang ngomong saya ini cuma bingung, kayanya dia yang bingung dan kurang belajar,” kata Reymi.

Kata Ganti ‘They/Them’ dalam Bahasa Inggris

Chris Derek dan Reymi memasang kata ganti orang ketiga (pronoun) ‘they/them’ di profil media sosial mereka.

Tidak seperti Bahasa Indonesia, kata ganti ‘dia’ dalam Bahasa Inggris berbasis gender – ‘he’ untuk dia laki-laki dan ‘she’ untuk dia perempuan.

‘They’ sendiri berarti ‘mereka’ dalam Bahasa Inggris.

Demi Lovato jadi salah satu figur publik non-biner dan menggunakan pronoun they/them. (Foto: Dok. Reuters)
Demi Lovato jadi salah satu figur publik non-biner dan menggunakan pronoun they/them. (Foto: Dok. Reuters)

“Mereka tidak mau dibilang pronounnya ‘he’ atau pronounnya ‘she,’ tapi mungkin yang mencakup lebih luas adalah ‘they,’” ujar Ayu.

“Memang ‘they’ kan lebih ke jamak, tapi bagaimana lagi, ya? Ketika bahasa itu istilahnya terbatas, ketika dia tidak bisa memecahkan belenggu dari sistem biner, ya muncul lah kita pakai ‘they.’”

Dari Demi Lovato hingga Sam Smith

Penyanyi Amerika Serikat Demi Lovato umumkan dirinya non-biner pada 19 Mei lalu.

Figur publik lainnya yang terbuka mengidentifikasi diri sebagai non-biner di antaranya penyanyi Sam Smith, penata rambut Jonathan Van Ness, dan model Ruby Rose.

Penyanyi asal Inggris Sam Smith umumkan ia non-biner pada tahun 2019. (Foto: Dok. Reuters)
Penyanyi asal Inggris Sam Smith umumkan ia non-biner pada tahun 2019. (Foto: Dok. Reuters)

Ayu ungkapkan impiannya akan dunia tanpa batasan biner gender.

“Tapi ini memang sulit sekali untuk dilakukan, apalagi ketika norma-norma masyarakat masih kuat,” Ayu mengakui. “Budaya, agama, orang tua memang masih kuat. Apalagi di masyarakat yang kental dengan ‘aduh, dosa’ atau ‘aduh, nggak enak.’”

“Kita beragam, ya. Kalau kita lihat, tubuh kita aja beragam, ya kan? ... Apalagi desire kita. Apalagi keinginan kita, itu berbeda juga, gitu ya,” tambahnya.

Recommended

XS
SM
MD
LG