Di rumah kacanya di sebuah kawasan pertanian di Idlib, Suriah, Rateb Hosrom dengan hati-hati memeriksa bunga-bunga anyelirnya sebelum memutuskan apakah siap untuk dipetik.
Bunga-bunga itu berwarna-warni dan selalu menyenangkan hatinya. Tapi pekerjaannya sebagai petani tidak secerah bunga-bunga itu.
“Pertanian bunga berjalan dengan baik sebelum perang. Setelah perang berkecamuk, kami mulai menghadapi banyak kesulitan. Salah satu kendala tersebut adalah tidak tersedianya film plastik (plastic film) yang biasa kami gunakan sebagai bahan utama atap rumah kaca. Kami tidak bisa mendapatkannya lagi. Sekarang kami menggantinya dengan bahan lain," jelasnya.
Hosrom sempat melarikan di ke Turki sebelum perang semakin memburuk. Ia kemudian memutuskan untuk pulang ke Idlib dan menata kembali bisnis bunganya.
Namun, itu tidak mudah. Seperti halnya banyak petani bunga lainnya, ia selain sulit mendapatkan film plastik, juga menghadapi banyak kendala dalam mengimpor bibit bunga yang dibutuhkan dari Eropa.
Karena kesulitan itu, ia berhati-hati menggunakannya persediannya agar tidak segera habis.
Ia juga kesulitan memasarkan bunga-bunganya karena tidak bisa lagi mendistribusikan ke lokasi-lokasi yang dilanda perang. Pasar bunganya kini terbatas pada kota Idlib.
"Di masa lalu, saya biasa mengekspor bunga ke berbagai provinsi di Suriah. Sejak perang berkecamuk, itu sulit dilakukan. Kami mulai fokus pada pasar lokal. Namun permintaan di pasar lokal sangat rendah," jelasnya.
Di Idlib, Hosrom mengantarkan bunga anyelir warna-warninya ke Morhaf Mordia, seorang pemilik toko bunga di kota itu. Mordia mengatakan, meski bisnisnya menyusut, ia menolak untuk menutup usahanya.
"Bunga adalah tanda kedamaian dan keamanan di kota ini. Pastinya, orang membeli bunga hanya pada saat-saat bahagia seperti pernikahan, pesta ulang tahun, atau bahkan ketika mereka mengunjungi pasien. Seseorang yang bekerja dengan bunga selalu merasa bahagia dan santai.” [ab/uh]