Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) semakin meragukan kesungguhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membongkar tuntas kasus pembunuhan –yang kuat dugaan melibatkan para petinggi Badan Intelijen Negara tersebut.
Puluhan aktivis HAM di Indonesia rutin mengadakan peringatan untuk mengenang perjuangan almarhum Munir Said Thalib, yang tewas diracun dalam perjalanannya menuju Amsterdam, 7 September 2004 silam.
Tepat 7 tahun setelah peristiwa itu, mereka mengadakan orasi di depan Istana Merdeka Jakarta, Rabu siang, menuntut Presiden Yudhoyono untuk melaksanakan komitmennya, dalam menuntaskan kasus kematian Munir.
Sekretaris Eksekutif Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM), Choirul Anam, mengatakan kepada VOA, bahwa mereka tidak ingin punya Presiden “palsu” yang tidak bergegas menepati janjinya. Bahkan Kejaksaan Agung bertindak tidak profesional, kata Anam.
Choirul Anam mengatakan, “Persoalan utamanya memang di Presiden, yang kami sebut Presiden “palsu” saat ini karena hanya menebar janji dan menebar citra tanpa tindakan kongkrit. Kedua, proses setahun ini dari sisi pemerintah sangat melemahkan kasus Munir. Misalnya PK (Peninjauan Kembali) Pollycarpus itu tindakan Kejaksaan Agung tidak profesional. Sampai dua bulan lalu, Jampidum (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum) bilang mereka belum terima berkas perkara Muchdi PR, padahal itu kan sudah dua tahun lebih. Jampidum bilang berkas perkaranya masih di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, sehingga Jaksa Agung belum bisa PK karena belum terima berkas perkara itu.”
Meskipun di Kejaksaan Agung mereka menemui jalan buntu, Anam mengatakan ada sedikit harapan yang muncul dari hasil pertemuan KASUM dengan BIN beberapa waktu lalu, yang dimediasi oleh Komisi Informasi Pusat (KIP). Bukti tersebut berisi pernyataan BIN tentang tidak adanya surat penugasan Muchdi Purwopradjono ke Malaysia dalam rentang waktu 6-12 September 2004. Anam, mengatakan bukti ini akan diserahkan ke Kejaksaan Agung sebagai bahan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
“Muchdi Pr itu lepas (dari jeratan pidana) karena alibinya mengatakan bahwa dia enggak komunikasi dengan Pollycarpus karena sedang berada di Malaysia (pada tanggal 6-12 September 2004, saat-saat kematian Munir). BIN, satu bulan lalu, menyatakan Muchdi tidak ditugaskan di Malaysia pada waktu itu dan ini dokumen resmi yang bisa menjadi novum (bukti baru) sehingga tidak ada alasan lagi bagi Jaksa Agung untuk tidak melakukan Peninjauan Kembali untuk kasus Muchdi. (Bukti) Rekaman suaranya juga ada,” ujar Choirul lagi.
Sebelumnya, Jaksa Agung Basrief Arief, kepada VOA Selasa memaparkan bahwa dalam kasus Munir, Kejaksaan Agung masih menunggu pembentukan Pengadilan HAM Ad-hoc. Ia juga tidak bersedia menjelaskan langkah hukum yang akan dilakukan sebelum menerima berkas perkara dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Basrief Arief mengatakan, “Yang terjadi di sana adalah pidana umum dan sampai sepanjang ini belum masuk sampai secara spesifik dan tegas siapa pelaku dan yang terkait dengan pembunuhan Munir. (Ada keterlibatan petinggi BIN?) Belum ada bukti itu, belum ada kan kita melihat dari putusan pengadilannya. (Dari sisi keadilan bagi korban dan keluarganya, apa yang akan dilakukan Kejaksaan Agung?) Itu saya belum bisa menyatakan secara utuh sebelum ada putusan (Kejati DKI Jakarta) itu sendiri.”
Namun, Choirul Anam sendiri menilai pernyataan Jaksa Agung untuk pembentukan Pengadilan HAM Ad-hoc hanyalah alasan saja, karena proses itu dapat dilakukan oleh Komnas HAM. Jaksa Agung bisa meminta Komnas HAM melakukan penyidikan pro justicia di bawah UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.