Kasus dugaan suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 telah menyeret Partai Golongan Karya (Golkar). Fadli Nasution, pengacara dari mantan Wakil Ketua Komisi Energi Dewan perwakilan Rakyat Eni Maulani Saragih, menyatakan suap proyek PLTU Riau-1 mengalir ke Partai Golkar.
Menurut Fadli uang suap sebesar Rp 2 miliar digunakan untuk Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar. Uang itu diterima Eni ketika menjadi bendahara panitia munaslub yang berlangsung Desember 2017 lalu di Hotel Sultan, Jakarta.
Mendapat tugas dari partai untuk mencari dana munaslub, Eni kemudian melobi Johannes Budisutrisno Kotjo, bekas pemegang saham di Blackgold Natural Resources Limited, induk PT Samantaka Batubara.
Baca juga: Proyek PLTU Riau Diberhentikan Sementara
Namun, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto membantah sangkaan adanya aliran uang suap proyek PLTU Riau-1 ke munaslub partainya. Dia memastikan tidak ada satupun pengurus Partai Golkar menerima uang suap tersebut.
"Dari hasil informasi dan pernyataan ketua OC (Organizing Committe), Pak Agus Gumiwang, menyatakan tidak ada. Dan juga dari ketua panitia penyenggara juga tidak ada. Di bendahara Partai Golkar juga tidak ada," tegas Airlangga.
Airlangga memuji sikap mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar yang juga mantan Menteri Sosial Idrus Marham yang langsung mengundurkan diri begitu kasus ini mengemuka.
Dalam perkembangan penyidikan kasus dugaan suap proyek PLTU Riau-1, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan kembali memeriksa Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir. KPK memerlukan keterangan Sofyan mengenai pertemuan dengan Idrus Marham, Eni Maulani Saragih, Johannes Budisutrisno Kotjo, dan pihak lain.
KPK juga ingin mengetahui proses penunjukan konsorsium serta kualifikasi pihak swasta untuk mengerjakan proyek senilai Rp 12,8 triliun itu. Namun Juru bicara KPK Febri Diansyah belum bisa memastikan kapan Sofyan Basir akan dipanggil untuk menjalani pemeriksaan.
"Bagaimana peran dan pengetahuan dari yang bersangkutan (Sofyan Basir) sebagai dirut PLN menjadi salah satu perhatian bagi KPK di sini. Karena PLN adalah salah satu entitas yang tidak mungkin dipisahkan dari konstruksi kerjasama proyek PLTU Riau-1 ini. Tentu kami akan melihat apa yang dilakukan saksi saat menjadi dirut PLN, bagaimana latar belakang penunjukan salah satu perusahaan, dan apa yang terjadi di balik itu," ungkap Febri.
KPK hari Senin (27/8) juga memeriksa Mantan Ketua Umum Golkar Setya Novanto terkait kasus ini.
Kasus ini bermula ketika KPK menangkap mantan Wakil Ketua Komisi Energi Dewan perwakilan Rakyat Eni Maulani Saragih dan Johannes Budisutrisno Kotjo, mantan pemegang saham di Blackgold Natural Resources Limited. Dalam operasi tangkap tangan pada 13 Juni itu, KPK menyita uang Rp 500 juta dalam pecahan Rp 100 ribu dan tanda terima uang tersebut.
Uang itu diduga untuk melancarkan proses penandatanganan kerjasama pembangunan PLTU Riau-1. Komisi antirasuah menduga jumlah itu bagian dari komitmen fee 2,5 persen dari total nilai proyek. KPK telah menetapkan tiga tersangka, yakni Eni, Johannes, dan Idrus Marham.
Proyek PLTU Riau-1 itu digarap oleh tiga perusahaan, yaitu Blackgold Natural Resources Limited, PT Pembangkit Jawa Bali Investasi, dan China Huadian Engineering Indonesia.
Proyek PLTU Riau-1 ini telah menyeret Setya Novanto, Mantan Ketua Umum Partai Golkar yang juga telah ditetapkan bersalah dalam kasus proyek Kartu tanda Penduduk (KTP) Elektronik atau dikenal sebagai e-KTP. Setya diduga melobi pemerintah dan PLN untuk mendapatkan jatah proyek pembangkit listrik di Sumatera.
Setya pula yang memperkenalkan Eni dengan Johannes dan proyek PLTU Riau-1 pada pertengahan 2017. [fw/em]