Ketua Komite Penanggulangan Penyakit Respirasi dan Polusi Udara (PPRPU), Agus Dwi Susanto, mengatakan angka kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) terus mengalami peningkatan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) dalam enam bulan terakhir pada 2023. Hal itu, menurutnya, imbas dari meningkatnya polusi udara akhir-akhir ini.
"ISPA pada periode Januari-Juli rata-rata di atas 100 ribu kasus. Bahkan di bulan Agustus sudah mendekati di atas 200 ribu kasus," kata Agus dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (28/8).
Menurut Agus pada 2022 kasus ISPA yang dilaporkan oleh puskesmas dan rumah sakit di Jabodetabek hanya di bawah 100 ribu kasus pada periode yang sama.
"Data-data di puskesmas dan rumah sakit dikumpulkan dari periode Januari-Juli kasusnya lebih tinggi daripada kasus pada periode yang sama tahun lalu. Tahun ini ketika polutan tinggi, kasusnya akan meningkat," ujarnya.
Agus menjelaskan polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit, termasuk gangguan pernafasan (respirasi). Gangguan pernafasan menduduki 10 penyakit terbanyak di Indonesia.
"Lima penyakit respirasi yang paling sering adalah tuberkulosis, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kanker paru, pneumonia (radang paru), dan asma," jelasnya.
Agus juga menjelaskan, polusi adalah faktor risiko kematian kelima tertinggi di Indonesia setelah hipertensi, gula darah, merokok, dan obesitas.
Menyikapi peningkatan kasus ISPA akibat polusi udara di DKI Jakarta, Kementerian Kesehatan membentuk Komite Respirologi dan Dampak Polusi Udara. Komite itu memiliki empat rencana strategis yaitu deteksi, penurunan risiko kesehatan, pengendalian emisi maupun debu, dan adaptasi.
Kementerian itu mengatakan, nantinya kualitas udara di wilayah DKI Jakarta akan terus dipantau, sementara puskemas dan rumah sakit akan dilengkapi dengan peralatan deteksi polusi udara. Kementerian Kesehatan juga akan mengembangkan sistem peringatan dini yang terintegrasi dan terkait data-data polutan di aplikasi Satu Sehat.
"Selanjutnya, mengedukasi dan memperkenalkan protokol 6M (memeriksa kualitas udara, mengurangi aktivitas di luar ruangan, menggunakan penjernih udara dalam ruangan, menghindari sumber polusi, menggunakan masker, dan melaksanakan perilaku hidup bersih serta sehat) dan 1S (segera konsultasi dengan tenaga kesehatan jika muncul keluhan pernapasan). Terakhir melakukan kajian atau riset terkait dampak udara terhadap kesehatan," ujar Agus.
Sementara itu Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu, mengatakan pihaknya telah melakukan sejumlah upaya terkait dengan peningkatan kasus ISPA akibat polusi udara.
"Pertama kami mengedukasi masyarakat. Kedua, tentu upaya pencegahan seperti apa juga sudah kami punya strateginya. Ketiga, kami melakukan surveillance. Selanjutnya adalah bagaimana kita melakukan surveillance terus menerus per minggu terkait ISPA. Nanti sesudah pemantauan kasus memalui sistem kewaspadaan dini dan respons, kami akan melakukan upaya penanganannya," ungkapnya.
Aktivis dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Muhammad Aminullah, mengatakan polusi udara di Jakarta merupakan masalah struktural. a mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya polusi udara, termasuk maraknya penggunaan transportasi pribadi dan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap sektor industri.
"Hal yang seperti itu gagal dipahami pemerintah. Makanya pemerintah solusi-solusinya ke uji emisi dan bagaimana mengintervensi penggunaan kendaraan pribadi. Padahal ada masalah besar di balik itu sebetulnya dan tidak tersentuh sama pemerintah," katanya kepada VOA.
Dalam catatan Walhi Jakarta tingkat ketaatan industri di ibu kota cukup lemah. Pada 2021 ada sekitar 474 usaha yang tidak taat soal perizinan izin lingkungan.
Walhi juga mencatat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya mampu melakukan pengawasan terhadap 848 pemegang izin lingkungan setiap tahunnya. Padahal setiap tahunnya mereka mengeluarkan lebih dari 3.000 izin lingkungan.
"Dari 2019-2021 itu ada 2.600 usaha yang tidak taat izin lingkungan. Ini bentuk tidak taatnya bermacam-macam ada yang lalai dalam pelaporan. Ada juga telah memberi kerusakan terhadap lingkungan secara signifikan. Tingkat tidak taat itu masih rendah dengan pengawasan yang juga lemah dari pemerintah," tandas Aminullah. [aa/ab]
Forum