Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya pada Kamis (23/3)pekan lalu membebaskan dua terdakwa, yang merupakan anggota kepolisian, dalam kasus Kanjuruhan.
Kedua terdakwa adalah mantan Kasat Samapta Polres malang Ajun Komisaris Polisi (AKP) Bambang Sidik Achmadi dan eks Kepala Bagian Operasi Polres Malang Komisaris Polisi Wahyu Setyo Pranoto. Tiga terdakwa lainnya yang telah divonis penjara sebelumnya, adalah mantan komandan kompi Brimob Hasdarman (1 tahun 6 bulan penjara), Suko Sutrisno (1 tahun), dan Abdul haris (1 tahun 6 bulan penjara).
Menanggapi bebasnya kedua polisi tersebut, dalam diskusi pada Minggu (26/3), anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) kasus Kanjuruhan, Akmal Marhali, mengatakan sangat sedih karena hukum ternyata tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.
Dia menyimpulkan dari proses kasus Kanjuruhan membuktikan betapa buruknya hukum dan penegakan keadilan di Indonesia, dan mencurigai adanya strategi untuk mempetieskan kasus itu. Hal ini menurutnya terlihat dari proses otopsi yang menyimpulkan bahwa kematian korban bukan karena gas air mata tetapi akibat pemukulan.
Kesimpulan hasil investigasi TGIPF sebelumnya adalah 135 korban tewas karena gas air mata dan polisi bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Para korban tewas dalam desak-desakan maut usai laga Arema FC vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022.
Akmal semula menyangka hasil penyelidikan TGIPF, yang berisi temuan fakta dalam tragedi itu, akan dijadikan rujukan oleh majelis hakim dalam menentukan vonis kepada terdakwa, tetapi ternyata tidak.
Dia mencontohkan bagaimana di halaman 96 dalam laporan TGIPF disebutkan bahwa dari hasil pengamatan rekaman CCTV, anggota Brimob menembakan gas air mata pertama kali ke tribun penonton pada pukul 22.09 WIB. Padahal, saat itu aparat keamanan tidak dalam keadaan terancam oleh penonton.
Kemudian anggota Brimob dan anggota pengendalian masyarakat Polres Malang menembakkan gas air mata ke arah tribun nomor 10,11,12, dan 13. Kondisi tersebut menimbulkan kepanikan para pendukung tim sehingga penonton berhimpitan di pintu tribun nomor 3,8,10,11,12, dan 13. Banyak di antara penonton yang panik itu akhirnya jatuh terinjak-injak.
"Saya bisa menyebut bahwa keadilan di negeri ini sejatinya sudah mati untuk urusan tragedi Kanjuruhan. Lembaga peradilan tidak lagi menggunakan rasa keadilan dalam mengambil keputusan, sehingga pada akhirnya kesimpulannya adalah harus angin yang dihukum seumur hidup akibat tragedi Kanjuruhan," ujar Akmal.
Vonis Hakim Tak Penuhi Rasa Keadilan
Devi Atok, salah satu keluarga korban tragedi Kanjuruhan, mengatakan vonis majelis hakim yang membebaskan dua polisi tidak memenuhi rasa keadilan para keluarga korban karena yang disalahkan justru angin.
Dia menilai proses sidang seperti sudah direkayasa. Ketika menjadi saksi, dia merasa pertanyaan dari hakim dan jaksa seperti sandiwara, dan selalu menyudut Aremania sebagai penyebab tragedi Kanjuruhan.
Saat bersaksi, Devi menolak hasil autopsi yang menyimpulkan kematian dua anak perempuannya karena terinjak-injak, bukan oleh gas airmata.
"Lha, itu kan sudah sangat melukai hati saya, melukai hati semua korban yang mengharapkan bahwa kedua putri saya sebagai sampel untuk mengurai tabir kepalsuan ini. Tapi kenyataannya sudah ditipu dan dikhianati oleh seorang dokter Nabil di persidangan di Surabaya," tutur Devi.
Dia menilai polisi seperti kebal hukum karena dibebaskan dalam kasus Kanjuruhan. Selain itu, polisi juga telah mengintimidasi keluarga korban agar tidak memberatkan kepolisian.
KontraS: Banyak Kejanggalan
Wakil Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) Bidang Advokasi Tioria Pretty mengakui sejak awal persidangan terhadap para terdakwa kasus Kanjuruhan sudah menunjukkan beberapa kejanggalan. Untuk itu Kontras dan anggota koalisi masyarakat sipil lainnya menilai proses peradilan perkara Kanjuruhan tidak sungguh-sungguh. KontraS mencatat ada sepuluh keanehan.
Keanehan pertama, yang diadili adalah aktor lapangan. Sementara komandan dari satuan polisi yang bertugas waktu itu tidak dimintai pertanggungjawaban karena yang bersangkutan tidak melakukan pencegahan.
Kemudian, lanjut Tioria, akses bagi pengunjung dan wartawan untuk menghadiri sidang dibatasi. Mestinya pengadilan menyediakan layar agar pengunjung dan jurnalis bisa mengikuti jalannya sidang atau dibuka secara virtual.
Selain itu, terdakwa sempat dihadirkan secara virtual bukan secara fisik seperti diamanatkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Padahal saat ini sudah tidak lagi dalam situasi pandemi Covid-19.
Keanehan lainnya, majelis hakim menerima anggota Polri sebagai penasihat hukum bagi terdakwa dalam persidangan. Hal ini, menurut Tioria, dapat menimbulkan konflik kepentingan. Sesuai undang-undang, anggota Polri tidak berhak menjadi penasihat hukum dalam persidangan. Hanya pengacara yang berhak menjadi penasihat hukum.
"Kejanggalan kelima, kami melihat hakim dan jaksa penuntut umum cenderung pasif dalam menggali kebenaran materil. Ini juga berkaitan dengan kejanggalan keenam bahwa komposisi saksi itu didominasi oleh aparat kepolisian. Kemudian narasinya berubah. Ada fakta-fakta yang coba disamarkan dan berhasil disamarkan," kata Tioria.
Kejanggalan berikutnya, lanjut Tioria, adalah minimnya keterlibatan saksi korban dan keluarga korban dalam persidangan. Lalu terjadi intimidasi yang dilakukan oleh anggota kepolisian dengan membuat gaduh dalam ruang sidang.
Tioria menilai seharusnya ketua majelis hakim dapat mengambil keputusan tegas dengan menyatakan teriakan-teriakan yang dibuat puluhan anggota Brimob dalam ruang sidang sebagai penghinaan terhadap pengadilan.
Pengaburan fakta terjadinya penembakan gas air mata ke tribun penonton tambahnya juga merupakan kejanggalan. Selain itu, suporter juga mengalami kekerasan di dalam dan di luar stadion.
Tragedi Kanjuruhan terjadi pada 1 Oktober 2022 seusai pertandingan di mana tuan rumah Arema FC kalah 2-3 dari Persebaya Surabaya. Insiden ini menewaskan 135 orang. Kesimpulan dari TGIPF menyebutkan semua korban meninggal akibat tembakan gas air mata. [fw/em]
Forum