Koalisi Masyarakat Sipil Jawa Timur mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk menyamakan arah pembangunan di Provinsi Jawa Timur sesuai prinsip Nawacita, atau arah pembangunan yang ditentukan oleh Presiden Joko Widodo.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jawa Timur, dinilai masih jauh dari cita-cita pembangunan nasional yang tertuang dalam Nawacita.
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil Jawa Timur, Aan Anshori mengatakan, persoalan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Timur masih menjadi halangan pelaksanaan Nawacita, terutama untuk kasus Syiah dan Ahmadiyah di Jawa Timur yang belum dituntaskan.
“Di rekomendasi jelas, cabut Pergub 55, cabut juga SK Gubernur 188 soal Ahmadiyah itu sendiri. Kami melihat bahwa kalau misalkan negara ini secara konstitusi tidak membedakan dan melindungi kelompok-kelompok minoritas, maka Pergub itu mencurigai dan meyakini bahwa aliran sesat itu menjadi satu hal yang berbahaya, dan negara perlu menertibkan," ujarnya.
"Bagi kami itu bertentangan dengan konstitusi. Pergub itu harus dicabut, SK 188 soal Pelarangan Ahmadiyah itu pada titik krusial, itu adalah satu noktah, sesuatu yang sangat memalukan di Jawa Timur.”
Berbagai persoalan terkait pembangunan masyarakat juga menjadi sorotan, seperti persoalan pemerataan pembangunan, pertanian, pendidikan, hingga isu lingkungan menjadi catatan merah pemerintahan di Jawa Timur.
Aan Anshori mengatakan, rencana pembangunan di daerah seharusnya memiliki kesamaan visi dengan pembangunan di tingkat pusat. Pemerintah pusat dapat memberikan sanksi kepada daerah, bila tidak memiliki rencana pembangunan yang mengiduk pada rencana pembangunan nasional.
“RPJMD itu harus sesuai dengan gagasan dan janji-janji Presiden dan itu di RPJMN. Kalau sampai RPJMD ini bertentangan misalkan dalam konteks perlindungan kekebasan beragama dan berkeyakinan, maka ya harus diberikan sanksi dong," ujarnya.
"Artinya kalau itu tidak termuat di RPJMD, misalkan soal Ahmadiyah, soal Syiah, soal kebebasan yang lain, kalau itu tidak bisa diwijudkan di RPJMD, maka pusat harus memberikan sanksi. Sanksinya bisa macam-macam, sanksi administratif, atau juga bisa di-skors dulu aliran dana dari pusat, sampai kemudian misalkan RPJMD-nya bisa dikoreksi oleh pemerintahan pusat.”
Persoalan kebebasan beragama dan beribadah di Jawa Timur juga menjadi sorotan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Provinsi Jawa Timur. Anggota DPRD Provinsi Jawa Timur, Agatha Retnosari mengatakan, persoalan konflik berlatar belakang agama harus segera diselesaikan oleh pemerintah, agar persoalan ini tidak mengganggu kehidupan masyarakat secara luas.
“Masalah kebebasan beragama untuk Provinsi Jawa Timur menurut saya masih sangat memprihatinkan, misalnya kasus pengungsi Syiah yang sampai saat ini masih belum dipulangkan," ujar anggota DPRD dari faksi Partai Demokrasi Indonesi Perjuangan (PDI-P) itu.
"Apa pun alasannya seharusnya pemerintah hadir, karena para pengungsi ini banyak juga mengalami kekerasan dan tekanan, khususnya anak-anak. Anak-anak ini tidak tahu konflik apa yang terjadi di dunia orang dewasa, tetapi mereka kehilangan haknya untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan baik.”
Agatha menjanjikan akan mengawal perubahan RPJMD di Jawa Timur agar sesuai dengan Nawacita, sehingga terjadi seselarasan pembangunan dari tingkat daerah maupun nasional.
“Ini kita harus kawal terus, supaya RPJMD ini sesuai dengan Nawacita, dan Nawacita juga seharusnya juga mungkin harus dievaluasi juga di dalam RPJMN kita sendiri, karena saya lihat di dalam RPJMN juga membumikan program-program Nawacita ini juga belum maksimal, belum optimal.”