Walaupun kini situasi COVID-19 di tanah air berangsur membaik, Presiden Joko Widodo mengaku tidak ingin terburu-buru dalam melakukan transisi dari pandemi menuju endemi meskipun jumlah kasus aktif harian yang tercatat semakin turun.
Ia menekankan masa transisi membutuhkan waktu dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
“Saya tidak ingin kayak negara-negara lain (yang sudah) buka masker, ndak. Ini masih ada transisi kira-kira enam bulan. Kita lihat seperti apa, baru nanti silahkan kalau di luar ruangan buka masker, kalau di dalam ruangan masih tetap pakai masker,” ungkap Jokowi di Jakarta, pada Senin (25/4).
Prinsip kehati-hatian yang dilakukan oleh pemerintah, ujar Jokowi dilakukan guna mencegah lonjakan kasus. Ia menjelaskan gelombang delta dan omicron mengajarkan semua pihak agar tetap waspada dan tidak lengah.
Kehati-hatian tersebut juga mendasari kebijakan yang dibuat pemerintah terkait mudik lebaran pada tahun ini. Warga kembali diperbolehkan untuk melaksanakan mudik pada tahun ini mengingat angka kasus harian sudah sangat rendah, dan kasus aktif COVID-19 sudah di bawah 20.000, ungkap Jokowi.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, jumlah kasus aktif per Senin (25/4) berada di kisaran 13.000 kasus.
Cakupan Tiga Dosis Minimal Harus Capai 70 Persen
Senada dengan pemerintah, ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengungkapkan meskipun kondisi pandemi di dunia sudah membaik, semua pihak harus tetap waspada. Pasalnya, status pandemi masih belum dicabut oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Artinya (kemungkinan) situasi bisa berubah tetap ada terutama karena prinsipnya kita belum aman kalau belum semua atau sebagian besar di negara di dunia ini aman, dan itu belum terpenuhi,” ungkap Dicky kepada VOA.
Setidaknya, kondisi akan disebut aman apabila status akut dari pandemi COVID-19 yakni sesuai dengan target WHO bahwa 70 persen dari populasi dunia harus sudah menerima vaksinasi sebanyak dua dosis.
Hal ini tentu cukup sulit mengingat sampai detik ini masih terjadi ketimpangan cakupan vaksinasi baik secara global maupun nasional. Hal ini merupakan pekerjaan rumah terbesar dari para kepala negara di dunia agar pemerataan vaksinasi COVID-19 dapat tercapai.
Lebih jauh ia menjelaskan, adanya gelombang omicron merupakan sebuah pertanda bahwa cakupan dua dosis saja tidak cukup. Menurutnya, semua negara di dunia ini termasuk Indonesia harus mengejar proporsi minimal 70 persen dari total penduduk untuk mendapatkan dosis ketiga atau booster.
“Atau bahkan bisa empat dosis. Jadi ini bukan hal aneh, karena program vaksinasi pada anak itu ada yang 3-4 dosis juga. Jadi booster itu bisa ada dosis keempat dan kelima, ini nanti datanya akan kita lihat, tapi yang jelas bukan dua dosis lagi karena data menunjukkan ketika sudah diberikan booster itu terjadi perlambatan, penurunan dari level imunitas, beda dengan ketika dua dosis,” jelasnya.
Menurutnya, perluasan cakupan booster ini akan menjadi modal kuat bagi setiap negara untuk memasuki fase menuju kehidupan normal baru, tanpa ada kekhawatiran kembali terjadi ledakan kasus di tengah-tengah masyarakat.
“Oleh karena itu mengejar dosis ketiga ini menjadi sangat penting untuk modal kita masuk ke era atau fase yang lebih kita bisa confident walaupun banyak pelonggaran, atau yang disebut dengan masa transisi ini menyiapkan bahwa kita sudah bisa melakukan pemulihan aktivitas di luar kesehatan tanpa ada potensi lonjakan kasus dengan modal tiga dosis yang harus dikejar,” tutur Dicky.
“Sehingga masalah masker, atau prokes (protokol kersehatan) menurut saya masih harus perlu dijaga, setidaknya sampai tiga dosis tercapai 70-80 persen dari total penduduk, dan itu tidak mungkin tidak terlampau lama lagi kalau semuanya bekerja sama,” pungkasnya. [gi/rs]