Juru bicara KIKA Herdiansyah Hamzah mengutip Undang-Undang 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan untuk menegaskan posisi dosen sebagai buruh. Berbicara dalam sesi konferensi pers pada Sabtu (29/4) petang, ia mengatakan dalam dua aturan hukum itu disebutkan bahwa buruh adalah siapapun yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
“Dosen sejatinya adalah buruh, sama seperti kawan-kawan buruh lainnya. Dosen menawarkan jasa dan pikirannya, dan mendapat upah dari negara yang diambil dari pajak-pajak rakyat,” kata Herdiansyah membacakan pernyataan KIKA.
Penegasan ini dinilai penting, karena buruh selama ini diasosiasikan terbatas sebagai pekerja sektor manufaktur, atau sektor informal. Padahal KIKA berpandangan, mereka yang digaji negara seperti Aparatur Sipil Negara (ASN) polisi dan tentara, sejatinya adalah buruh.
Karena itu, dosen di Tanah Air juga didorong memanfaatkan momentum Hari Buruh pada 1 Mei untuk merapatkan barisan. Menghadapi berbagai persoalan, yang menjadikan dosen terancam berbagai beban administratif dan dibelenggu aneka aturan, KIKA mendorong terbentuknya serikat dosen. Sesuatu yang sudah jamak ada di lingkungan perguruan tinggi di luar negeri.
“Sebagai buruh, dosen juga harus berserikat. Dengan berserikatlah kita menjadi kuat dan lebih terpimpin. Kegelisihan kita bersama tidak cukup hanya dengan meluapkan kemarahan. Namun harus diorganisir melalui serikat agar posisi tawar kita dihadapan kekuasaan jauh lebih kuat,” tambah Herdiansyah.
Berbagai tantangan yang dihadapi kalangan dosen saat ini adakah perjuangan untuk memperbaiki kesejahteraan, penolakan tehadap Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPAN-RB) Nomor 1 Tahun 2023, kebebasan akademik, dan sejumlah persoalan lainnya. Tantangan itu diyakini hanya bisa dihadapi jika dosen membangun serikat yang kuat.
Karena itulah, KIKA menyerukan kepada dosen-dosen di Indonesia untuk merapatkan barisan, membangun “Serikat Buruh” nasional bagi pekerja kampus. Serikat ini tidak hanya bagi dosen, tapi juga tenaga kependidikan. Selain itu, KIKA juga menyerukan semua dosen-dosen di Indonesia, bergabung dalam aksi-aksi peringatan hari buruh internasional pada Senin, 1 Mei 2023.
Belakangan ini, kalangan dosen di Indonesia memang gerah dengan keluarnya PermenPAN RB 1/2023 yang dianggap membebani dosen dengan memberikan tugas administratif yang terlalu berat, di samping tugas-tugas lain yang telah ada selama ini, seperti pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
Ribuan dosen juga membubuhkan tanda tangan dalam petisi yang meminta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk mengaudit berbagai aplikasi laporan yang memperberat kerja dosen. Alih-alih meringankan beban dosen, berbagai aplikasi baru yang dikeluarkan justru mempersulit dan memperumit tugas yang sudah ada.
Dukungan Mengalir
Dukungan pembentukan serikat dosen di Indonesia ini datang dari sejumlah pihak. Profesor Vina Adriany, guru besar Universitas Pendidikan Indonesia misalnya, tegas mengatakan bahwa hak untuk berkumpul dan berserikat merupakan salah satu hak dasar manusia dan dilindungi oleh undang-undang dasar.
Vina menyatakan, hingga saat ini kondisi dosen di Indonesia belum setara, terutama di sisi kesejahteraan. Selain itu, banyak dosen yang tidak mendapatkan akses dalam upaya meningkatkan kapasitas pengembangan diri.
“Berserikat memberikan ruang bagi dosen yang sudah memiliki privilege untuk membangun empati dan solidaritas dengan dosen lain yang belum memiliki hak yang sama,” kata Vina.
Dia juga mengatakan, “Bagi teman-teman dosen yang masih belum terpenuhi hak-haknya, berserikat memberikan ruang untuk menyuarakan hak mereka.”
Seruan yang sama juga disampaikan Dr Amalinda Saviran dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakara.
“Soal berserikat itu adalah hak warga negara. Dan dosen tidak terkecuali adalah juga warga negara biasa, sehingga penting untuk berserikat, bersama, berpendapat dan itu semua dijamin oleh konstitusi,” tegasnya.
Serikat dosen adalah wadah bersama, baik bagi dosen senior, dosen yunior maupun tenaga kependidikan untuk memikirkan kepentingan mereka.
“Membela diri kita sendiri, terkait dengan persoalan-persoalan yang kita hadapi,” ucapnya.
Sementara Dr Evi Eliyanah, dosen di Universitas Muhammadiyah Malang mengakui bahwa saat ini sudah menumpuk persoalan di lingkungan dosen yang harus diselesaikan. Dia mengibaratkan, berbagai persoalan itu telah siap untuk meledak.
“Kita sudah paham banget, beban administrasi kita. Kemudian cara negara memperlakukan dosen secara manajerial, kemudian inequality, juga bagaimana manajemen ini didasarkan pada distrust,” paparnya.
Evi bahkan menyebut, pembentukan serikat di kalangan dosen sebenarnya sudah melewati batas waktu alias terlambat.
“Kita sudah enggak bisa lagi untuk menghindari ini, karena kalau kita tidak mewakili diri kita, sendiri siapa lagi. Bahkan teman-teman dosen yang berada di kementerian pun, kadang-kadang tidak bisa mewakili kita,” tambah Evi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021, jumlah dosen di Indonesia mencapai 311.642 orang. Mereka terbagi menjadi dosen di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebanyak 265.452 orang, dan di bawah Kementerian Agama 46.190. Secara status, menurut BPS, 82.608 dosen mengajar di perguruan tinggi negeri (PTN) dan 182.844 dosen mengajar di perguruan tinggi swasta (PTS). [ns/ah]
Forum