Seychelles, sebuah negara kepulauan dengan 115 pulau di Samudera Hindia, mengalami lonjakan kasus COVID-19 meski sebagian besar populasinya telah divaksinasi dengan vaksin Sinopharm buatan China atau vaksin Oxford/AstraZeneca dari Inggris.
Menurut penelitian dan situs web Our World in Data, lebih dari 71 persen populasi negara itu telah mendapatkan setidaknya satu dosis vaksinasi per 19 Mei, dan lebih dari 60 persen warganya telah divaksinasi secara penuh sejak program vaksinasi diluncurkan pada Januari.
The New York Times melaporkan bahwa di antara populasi penduduk yang sudah menerima dosis penuh, sebanyak 57 persen menerima vaksin Sinopharm, dan 43 persen menerima AstraZeneca. Kementerian Kesehatan Seychelles mengatakan pada 10 Mei bahwa lebih dari 37 persen orang yang dites positif COVID-19 telah mendapatkan vaksinasi dosis lengkap. Kementerian tidak memperinci berapa banyak di antara mereka yang baru mendapat satu dosis vaksinasi dan berapa yang sudah menerima dosis lengkap.
Liu Chenglong, seorang ahli epidemiologi dan asisten profesor penelitian di Pusat Medis Universitas Georgetown di Washington, D.C. mengatakan bahwa orang yang terinfeksi setelah divaksinasi disebut sebagai kasus terobosan.
“Menurut CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS-red), sebagian kecil orang yang divaksinasi dosis lengkatp masih akan tertular COVID-19, jika mereka terpapar virus penyebabnya. Ini disebut 'kasus terobosan vaksin.' Ini berarti bahwa meskipun orang yang telah divaksinasi jauh lebih kecil kemungkinannya untuk jatuh sakit, hal itu masih mungkin terjadi,” katanya kepada VOA Mandarin melalui email.
Dia mengatakan para ahli terus mempelajari frekuensi terjadinya kasus penularan pasca imunisasi ini. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, pada 26 April 2021, lebih dari 95 juta orang telah divaksinasi dosis lengkap dan CDC melaporkan, 9.245 di antarany adalah kasus infeksi terobosan. Di antara kasus terobosan, 27 persen pasien tidak bergejala, artinya tidak menunjukkan gejala COVID-19; 9 persen pergi ke rumah sakit, dan1 persen meninggal.
Pada umumnya AS menggunakan dua vaksin, yakni Moderna dan Pfizer/BioNTech mRNA. Menurut CDC, masing-masing vaksin menunjukkan kemanjuran lebih dari 90 persen dalam mencegah penyakit terkait COVID-19.
Peneliti mengatakan kasus terobosan adalah normal karena tidak ada vaksin yang 100 persen efektif. Namun, profesor kimia dan biologi kimia di Universitas Rutgers di New Jersey, Richard Ebright, mengatakan situasi di Seychelles menunjukkan bahwa kasus terobosan vaksin perlu diteliti lebih lanjut.
"Terobosan vaksin adalah masalah serius, seperti yang digambarkan oleh situasi di Seychelles, dan mungkin menjadi perhatian yang lebih serius di tahun mendatang," kata Ebright kepada VOA melalui email.
Keampuhan Vaksin Sinopharm
Menurut artikel di jurnal sains Nature pada 12 Mei, meskipun China adalah salah satu negara pertama yang mulai mengembangkan vaksin COVID-19, tetapi negara tersebut belum mempublikasikan hasil uji coba lengkap, seperti kebiasaan penelitian medis.
Ditambah lagi dengan kasus terobosan di Seychelles, sejumlah ilmuwan menyuarakan keprihatinan tentang keefektifan vaksin buatan China.
“Bagi saya, masalah terbesar dengan Seychelles yang memiliki tingkat vaksinasi tinggi adalah mayoritas orang menerima vaksin Sinopharm. Vaksin ini, yang tidak memiliki publikasi penelahaan sejawat (peer review) mengenai hasil uji klinis fase 3, mungkin kurang optimal,” kata Amesh Adalja, peneliti senior di Johns Hopkins Center for Health Security di Baltimore, Maryland, kepada VOA.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), vaksin AstraZeneca memiliki tingkat kemanjuran 76 persen dalam mencegah gejala terkait COVID-19, dan Sinopharm memiliki tingkat kemanjuran 79 persen. Kedua vaksin itu melampaui ambang kemanjuran WHO sebesar 50 persen untuk persetujuan penggunaan darurat.
Liu mengatakan terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa vaksin Sinopharm atau AstraZeneca harus disalahkan atas terjadinya gelombang COVID-19 kedua di Seychelles.
“Tidak ada informasi yang diberikan tentang berapa persen dari kasus ini di Seychelles yang menggunakan vaksin Sinopharm atau AstraZeneca,” kata Liu. “Selain itu, 80 persen pasien yang perlu dirawat di rumah sakit, tidak divaksinasi, yang masih menunjukkan efektivitas program vaksin di negara ini.”
Program Vaksinasi Dilanjutkan
Presiden Seychelles, Wavel Ramkalwan, membela catatan vaksinasi negara itu. Dia mengatakan kepada Kantor Berita Seychelles pada 10 Mei bahwa Sinopharm dan AstraZeneca telah melayani penduduknya dengan baik.
“Sebagian besar kasus baru terjadi di antara orang-orang yang belum divaksinasi dosis lengkap,” kata Ramkalwan dalam laporan Kantor Berita Seychelles.
“Seychelles belum mencatat kasus kematian di antara orang-orang yang divaksinasi penuh. Dan ini telah menunjukkan kepada kami kemanjuran vaksinasi,” tegasnya.
Liu mengatakan bahwa dalam keadaan saat ini, Seychelles harus mempromosikan program vaksinasi secara luas daripada menghentikan program vaksinasi apa pun. Pasalnya lonjakan kasus COVID-19 saat ini belum dapat dikaitkan dengan kegagalan dari satu vaksin mana pun.
“Studi di negara lain, seperti Indonesia, menunjukkan hasil yang sangat positif untuk vaksin Sinopharm,” ujarnya. Liu menambahkan pemerintah harus memperkuat edukasi kesehatan kepada warga dan wisatawan tentang pentingnya vaksin dan upaya berkelanjutan dalam upaya kesehatan masyarakat.
Ebright sepakat dengan pendapat tersebut. Dia mengatakan bahwa data yang tersedia sekarang menunjukkan bahwa semua vaksin saat ini - vaksin mRNA Moderna dan Pfizer/BioNTech, vaksin vektor Johnson & Johnson, AstraZeneca dan Sputnik, dan Sinopharm yang menggunakan virus yang dilemahkan - memberikan perlindungan substansial terhadap infeksi dan memberikan perlindungan yang sangat baik terhadap penyakit parah.
“Jadi semua vaksin saat ini jauh lebih baik daripada tidak ada vaksin sama sekali,” katanya kepada VOA. [ah/ft]