Di perbatasan antara Vietnam dan China, sopir-sopir truk dari satu desa kecil sedang menunggu. Sebagian dari mereka berkaraoke. Mereka menunggu, terkadang berminggu-minggu, untuk membawa barang-barang mereka masuk ke China.
Satu dari sopir-sopir itu, Nguyen Tan Nam mengatakan, “Sudah satu bulan 10 hari, saya belum juga bisa masuk.”
Untuk waktu yang sama sebelum pandemi, kata Tan Nam, dia bisa dua hingga tiga kali bolak-balik masuk China, menerima sekitar $220 untuk setiap perjalanan.
Penyebab masalah tersebut, COVID-19.
Sopir lain, Nguyen Cong Vy, yang mengangkut nangka, mengatakan, “Pihak China mengumumkan bahwa satu atau beberapa sopir truk di pihak mereka tertular COVID-19, jadi mereka menutup perbatasan untuk disinfeksi. Makanya kami harus menunggu lama sampai nangkanya busuk.”
China menerapkan kebijakan nol COVID. Ketika terjadi penularan, mereka menutup perbatasan untuk sementara. Dan ketika COVID terdeteksi, mereka untuk sementara melarang buah-buahan impor tertentu.
Ekonom Adam McCarty mengatakan hasil pertanian lain seperti beras dan kopi mungkin menemukan pasar baru di luar China. Sedangkan, “Produk buah dan sayuran yang secara fisik terhubung erat dengan China, mereka menghadapi masalah besar,” tukasnya.
Di negara tetangga Vietnam, Kamboja, petani lengkeng seperti Preap Nak menjual buah ke perusahaan Thailand yang bertindak sebagai perantara untuk mengekspor produknya ke China. Ia mengatakan tidak ada yang membeli buahnya untuk ekspor selama pandemi.
Pengawasan ketat terhadap impor buah dan penundaan di perbatasan diperkirakan akan juga berdampak pada konsumen di China.
Ekonom Adam McCarty menambahkan, “Secara umum saya menduga akan ada kenaikan harga, dan konsumen China akan menanggung konsekuensi akibat kebijakan nol COVID di perbatasan.”
Sementara itu, sopir-sopir truk seperti Nguyen Tan Nam tidak melihat jalan keluar dari penundaan yang lama ini. Ia mengatakan istri-istri dan anak-anak para sopir harus menghidupi diri sendiri, entah bagaimana, sementara para suami menunggu.[ka/jm]