Pada 12 September, Dewan Hak Asasi Manusia PBB merilis laporan pertama tentang keadaan di Afghanistan sejak diambil alih oleh Taliban setahun yang lalu.
Afghanistan mengalami "krisis hak asasi manusia yang makin mendalam di bawah kepemimpinan Taliban yang mengarah pada otoritarianisme," kata Richard Bennett, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Afghanistan.
Pemimpin Afghanistan menolak laporan itu, dan juru bicara Taliban menanggapinya di Twitter.
“Laporan perwakilan PBB Richard Bennett tentang hak asasi manusia itu bias dan jauh dari kenyataannya,” ujarnya. “Saat ini, tidak ada ancaman bagi para perempuan di Afghanistan … tidak ada yang tidak menghormati perempuan Afghanistan.”
Peryataan ini salah. Pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Taliban, khususnya menargetkan perempuan dan anak perempuan, telah didokumentasikan dengan luas oleh PBB, berbagai kelompok HAM dan lembaga riset yang mengamati situasi di Afghanistan.
Laporan PBB membantah klaim Taliban bahwa hak rakyat Afghanistan dilindungi di bawah hukum Islam yang berlaku sejak undang-undang demokratis yang dibuat oleh negara itu pada tahun 2004 ditangguhkan, sementara pemerintah (di bawah Presiden Ashraf Ghani) dan pengawasan masyarakat sipil dibubarkan:
“Meskipun Taliban telah berulang kali mengklaim pemerintahan mereka inklusif, tidak ada keragaman gender, etnis, agama, politik dan geografis."
"Majelis yang terdiri dari 4.500 ulama diadakan di Kabul dari 30 Juni hingga 2 Juli 2022, adalah bukti lebih jauh Taliban tidak mengambil kesempatan ini untuk membentuk proses politik yang inklusif. Majelis yang seluruhnya berisi pria itu tidak menunjukkan keragaman dan tidak menghasilkan apa-apa selain memperkuat dukungan terhadap pemerintah de facto."
Di bawah sistem patriarki, perempuan dan anak perempuan “langsung menghilang dari segala lapisan kehidupan publik,” menurut laporan itu. Mereka justru menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, dipaksa menikah di usia dini, keluar dari sekolah menengah dan izin kerja profesional mereka dicabut.
Kewajiban mengenakan hijab, larangan untuk mengenakan pakaian berwarna-warni, keharusan ditemani pria dan larangan lainnya terkait kebebasan pergerakan perempuan "sangat menghambat akses medis dan pendidikan mereka, kemampuan untuk menghasilkan uang, mendapatkan perlindungan dan menyelamatkan diri dari situasi kekerasan," menurut laporan tersebut.
“Meskipun mereka berjanji untuk mengizinkan anak perempuan Afghanistan kembali bersekolah setelah 21 Maret 2022, mereka mengumumkan dua hari kemudian bahwa sekolah menengah untuk anak perempuan tetap tutup sampai kebijakan dan seragamnya mengikuti prinsip hukum Islam dan budaya Afghanistan. Pelapor Khusus juga menggarisbawahi dengan keprihatinan serius bahwa aturan ini menghambat anak perempuan melanjutkan pendidikan di sekolah menengah. Sekolah menengah untuk perempuan ditutup di 24 provinsi, dari 34 provinsi yang ada di Afghanistan, sehingga memaksa sekitar 850.000 anak perempuan putus sekolah.”
Laporan PBB tersebut mengutip hasil wawancara Bennett dengan warga Afghanistan yang dilakukan ketika ia berkunjung ke negara itu.
“Seorang perempuan muda yang ditemui oleh Pelapor Khusus menyampaikan rasa frustrasinya, "Dalam beberapa bulan terakhir, saya bangun sambil menangis. Saya bilang pada diri saya sendiri ini mimpi buruk karena masa depan tampak semakin gelap setiap harinya. Saya punya mimpi belajar keuangan dan membuka bisnis pakaian milik saya sendiri. Saya ingin bepergian ke banyak negara dan belajar dari mereka dan membawa pengetahuan yang saya dapat ke Afghanistan. Hari ke hari, hidup dan mimpi saya dan teman-teman saya dibajak. Saya ingin masyakarat internasional ingat bahwa tanpa mereka, kami, anak perempuan Afghanistan, tidak bisa memenangkan perjuangan ini, sendiri.”
Hukum Islam Taliban mengizinkan anak peremuan di bawah usia 15 tahun untuk dinikahkan, yang berdampak pada "meningkatnya kawin anak," lapor Bennett. Selain itu, jumlah bunuh diri dan pembunuhan perempuan yang tinggi harus "segera dipelajari," menurut laporan itu.
“Pelapor Khusus bertemu dengan pembela hak perempuan yang telah dilecehkan, ditahan dan diperlakukan buruk karena melakukan protes damai. Lainnya menjadi korban kekerasan, dihilangkan secara paksa, mendapatkan perlakuan buruk dan disiksa. Agar bisa dibebaskan, beberapa di antara mereka harus membuat video pengakuan, dan membuat pernyataan tertulis bahwa mereka tidak akan terlibat dalam aktivitas apapun yang dianggap membahayakan di mata pihak penguasa dan dokumen identitas mereka disita.”
Konsekuensi ekonomi bagi perempuan sangat berat, seperti yang dilaporkan PBB:
“Larangan bagi perempuan Afghanistan sangat mempengaruhi kemampuan mereka untuk menghidupi diri sendiri, dan lebih jauh mengurangi hak dasar lainnya. Pada awal 2021, sekitar 17.369 bisnis milik perempuan menciptakan lebih dari 129.000 pekerjaan, lebih dari sepertiganya diisi oleh perempuan, dan banyak lagi bisnis milik perempuan yang tidak tercatat yang menggerakkan ekonomi informal.
“Pada Maret 2022, 61 persen perempuan kehilangan pekerjaan atau kegiatan yang menghasilkan uang; larangan yang saat ini berlaku diperkirakan berkontribusi terhadap kerugian ekonomi yang langsung terasa, antara 600 juta dolar AS sampai 1 miliar dolar AS (sekitar 3 sampai 5 persen PDB Afghanistan). Pada sektor informal, perempuan tidak lagi bisa membawa produk yang mereka buat ke pasar karena pembatasan pergerakan dan penutupan banyak pasar perempuan.”
Laporan itu juga menyebutkan perempuan tidak diikutsertakan dalam kelompok pengambilan keputusan dan sistem peradilan negara tersebut, di mana mereka telah membuat terobosan besar di bawah demokrasi Afghanistan.
Pada 19 Juli, contohnya, Kementerian Keuangan Taliban mengatakan di Twitter bahwa perempuan diminta untuk "mencalonkan dengan sukarela" anggota keluarga laki-laki untuk menggantikan mereka di tempat kerja.
Pada bulan Agustus, Human Rights Watch mengatakan tanggapan internasional atas perlakuan Taliban terhadap perempuan tidak "cukup baik" dan menyerukan diambilnya langkah yang lebih konkrit untuk memperbaiki kesalahan mereka.
Pada bulan Juli, Amnesty International mengeluarkan laporan tentang nasib perempuan Afghanistan di bawah Taliban, berjudul “Death In Slow Motion” atau "Mati Pelan-pelan."
Laporan Bennett tidak hanya fokus pada perempuan. Masalah lain yang dilaporkan termasuk:
Pembunuhan balasan: Meskipun Taliban mengklaim telah memberikan amnesti umum setelah 15 April 2021 ketika Kabul diambil alih, laporan itu menyebutkan sedikitnya ada 160 pembunuhan tanpa proses hukum yang dilakukan terhadap mantan anggota pasukan keamanan dan pertahanan pemerintah Afghanistan hingga Juni 2022:
“Warga provinsi Nangarhar dan Kunar dilaporkan menemukan lebih dari 100 jenazah pria yang dibuang di selokan dan tempat lainnya. Jumlah orang yang dibunuh kemungkinan jauh lebih besar, karena keluarga korban biasanya enggan melaporkan karena takut mendapatkan pembalasan.”
Hak minoritas: Etnis Hazara Afghanistan, yang tidak menganut agama Islam, sering dipersekusi. Laporan itu menyebutkan dugaan adanya penggusuran paksa, hukuman mati tanpa proses hukum, pajak jizya, dan penghilangan paksa. Penyandang disabilitas atau mereka yang punya orientasi seksual berbeda seringkali menghadapi diskriminasi.
Penderitaan anak-anak: Anak-anak mungkin yang paling menderita di bawah kepemimpinan Taliban. Laporan itu menyebutkan "sekitar 9,2 juta anak menderita kekurangan gizi. Banyak keluarga yang menerapkan cara bertahan hidup yang berbahaya, termasuk menjual anaknya, menikahkan anaknya yang masih di bawah umur, mempekerjakan anak di bawah umur dan mengurangi pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan.”
Kebebasan berbicara dan media: Hak untuk melaporkan berita secara independen sangat dibatasi, dan 84 persen pekerja media perempuan dipaksa berhenti. Enam jurnalis tewas, empat luka-luka dan lebih dari 100 jurnalis ditahan. Peraturan semena-mena digunakan untuk menyensor melecehkan dan mengintimidasi jurnalis, dan 40 hingga 80 persen organisasi media di 15 provinsi ditutup.
Forum