Pekerja pers atau wartawan di seluruh dunia masih terus menghadapi tantangan untuk melakukan pekerjaannya, tidak saja dalam bentuk pembatasan liputan dan serangan fisik, tetapi juga berhadapan dengan misinformasi dan hoaks. Bahkan kini dengan hadirnya teknologi canggih baru seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan ChatGPT. Padahal kebebasan pers mutlak diperlukan untuk mendorong demokratisasi di suatu negara.
Hal ini disampaikan juru bicara Kedutaan Besar AS di Jakarta Michael Quinlan dalam peringatan World Press Freedom atau Hari Kebebasan Pers di @America, Jakarta, Rabu (3/5). Tema peringatan tahun ini adalah “Shaping a Future of Right: Freedom of Expression as a Driver for All Other Human Rights.”
“Maka dari itu mengacu pada tema tersebut, kebebasan pers adalah sebagai katalis untuk (tercapainya) HAM, dan saya rasa ini penting untuk kita berpikir terkait hal itu,” ungkap Quinlan.
AJI: Perlu Kolaborasi Semua Pihak untuk Wujudkan Kemerdekaan Pers
Senada dengan Quinland, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito Madrim mengungkapkan dibutuhkan sebuah kolaborasi yang menyeluruh dari semua pihak agar kebebasan atau kemerdekaan pers dapat tercipta di sebuah negara. Ketika kebebasan pers di sebuah wilayah ideal, maka pemenuhan terhadap HAM dapat tercapai dengan baik, tambahnya.
“Tanpa kerja sama itu rasanya mustahil kita bisa mendorong kemerdekaan pers yang dia menjadi kunci dari pelaksanaan HAM yang lainnya. Contoh, misalnya di Papua, ketika kemerdekaan persnya terhambat, maka pemenuhan HAM yang lain yakni, hak atas informasi, hak atas keamanan dan keselamatan sulit dilakukan. Itu saya pikir menjadi awal yang baik untuk kita berkolaborasi bareng-bareng, dalam memajukan kemerdekaan pers untuk pemenuhan HAM yang lain,” ungkap Sasmito.
Sasmito secara terbuka mengatakan situasi kebebasan pers di tanah air belum sepenuhnya baik, terlebih mereka yang berada di daerah terpencil seperti Papua, yang kerap menghadapi ancaman.
“Kita cukup mengalami kesulitan untuk melakukan pendataan (tindak kekerasan) di Papua, karena AJI, hanya mempunyai perwakilan di Jayapura. Sementara hari ini ada enam provinsi di sana dan agak sulit melakukan pendataan. Terakhir kita ke Papua pas bulan Ramadhan, ternyata jurnalisnya tidak mau dicatat juga. Jadi teman-teman jurnalis di Papua yang mengalami kekarasan itu dianggap hal yang lumrah, dianggap hal normal, dinormalisasi oleh teman-teman jurnalis di Papua. Misalnya diancam mau dibunuh itu dianggap sesuatu yang biasa, karena banyak kekerasan yang terjadi di sana dan akhirnya dinormalisasi,” jelasnya.
Dewan Pers: Angka Kekerasan terhadap Wartawan Naik
Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang dilakukan Dewan Pers pada tahun 2022 menunjukkan perbaikan skor dari 76,02 pada tahun 2021 menjadi 77,88. Meskipun demikian data ini belum mencakup kekerasan terhadap wartawan. Padahal berdasarkan riset AJI, angka kekerasan terhadap jurnalis naik dari 43 kasus pada tahun 2021, menjadi 61 kasus pada tahun 2022. Jumlah korban tahun ini juga bertambah menjadi 97 orang.
“Yang paling banyak adalah kekerasan fisik, dan berikutnya serangan digital. Saya menjadi salah satu korban serangan digital, akun WA diretas ketika baru beberapa bulan pulang dari Papua, kembali ke Jakarta. Kemudian akun FB, Instagram di retas, dan di twitter saya di adu domba dengan FPI, dianggap AJI lawannya FPI,” jelasnya.
Selain itu, berbagai regulasi atau kebijakan pemerintah juga berpotensi memberangus kebabasan pers. Sasmito mencontohkan UU Cipta Kerja, dan KUHP bisa dijadikan alat oleh pemerintah untuk memenjarakan para jurnalis.
“KUHP baru disahkan satu hari yang seharusnya baru bisa digunakan tiga tahun mendatang, tapi di Mataram sudah digunakan polisi untuk mengancam jurnalis. Jadi ada teman-teman jurnalis di Mataram yang menulis tentang dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi. Itu kemudian di ancam menggunakan KUHP oleh polisi. Jadi memang regulasinya sangat buruk,” tuturnya.
SETARA Institute Ajak Merefleksikan Kondisi Kebebasan Pers di Tanah Air
Diwawancara secara terpisah, peneliti SETARA Institute Sayyidatul Insiyyah mengatakan peringatan Hari Kebebasan Pers sedianya menjadi momentum merefleksikan kondisi di tanah air. SETARA Institute setiap tahun selalu merilis laporan Indeks Kinerja HAM, dan salah satu indikator dalam laporan tersebut yakni indikator kebebabasan ekspresi dan berpendapat menjadi indikator yang paling rendah skornya dan selalu menurun dari tahun ke tahun.
Ia menjelaskan dalam laporan indeks kinerja HAM selalu menggunakan rentang skor satu hingga tujuh, di mana angka satu menunjukkan bahwa pemenuhan dan penghormatan pemerintah terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi sangat buruk, dan angka tujuh menunjukkan sebaliknya. Merujuk hal ini, skor indikator kebebasan berekspresi dan berpendapat tahun 2019 skornya 1,9 dan angkanya terus menurun di 2022 yang hanya mencapai 1,5.
“Sehingga ini menjadi refleksi ternyata sebetulnya pemenuhan atau perlindungan dan penghormatan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat saat ini tidak baik-baik saja. Dalam hal ini juga sebetulnya tidak hanya mengancam kawan-kawan jurnalis, tapi menjadi alert dari kawan-kawan di lingkungan akademisi, di kampus ataupun kawan-kawan di lingkungan NGO dalam mempublikasikan hasil riset,” ungkap Sayyidatul.
Ia mencontohkan kasus Fatiya dan Haris, yang menurutnya sedianya mendapat perlindungan ketika berbicara terbuka.
“Kenapa kebebasan berpendapat sangat penting? Tentunya kita tidak ingin ketika menyuarakan sesuatu dibatasi oleh negara, dan sebetulnya hal-hal yang kita lakukan sebagai penyeimbang, kontrol dari apa yang dilakukan oleh negara ketika kemudian negara tidak transparan kita bisa menuntut. Atau apabila hak kita sebagai warga negara tidak terpenuhi kita bisa menuntut. Ketika hal-hal seperti itu dibatasi bagaimana kita dapat menuntut hak-hak yang lain. Maka dari itu kebebasan berpendapat adalah hak yang sangat fundamental.” pungkasnya. [gi/em]
Forum