Waktu menunjukkan pukul 3 sore. Langga dan Husni baru terbangun dari tidurnya saat VOA tiba untuk mewawancarai mereka. Keduanya melewatkan jam makan siang setelah kelelahan berlatih untuk tim olahraganya semalaman suntuk. Keduanya lantas bergegas bersiap-siap mandi dan makan sebelum akhirnya siap diwawancara pukul 4 sore.
Bangun siang, atau sore, sudah menjadi rutinitas Langga dan Husni sehari-hari semenjak setahun resmi bergabung dengan tim olahraga Onic. Atlet kok bangun siang? Alasannya karena Langga dan Husni bukan atlet biasa yang bisa anda ajak berlari maraton 42 kilometer, apalagi mengangkat beban ratusan kilogram. Namun jika anda berani adu jitu tembak dalam video game PUBG mobile, kemungkinan besar jika anda sekedar pemain amatir, anda pasti takluk oleh keduanya. Rangga dan Husni adalah atlet olahraga elektronik, alias esport cabang PUBG (Players Unknown Battle Ground) mobile sejak digaet Onic di tahun 2018.
Rutinitas bangun siang ini tidak terhindarkan, akibat jadwal latihan mereka yang baru dimulai pukul delapan malam setiap harinya. Gim PUBG dimainkan secara kolektif dalam jaringan daring, sehingga untuk bisa memulai latihan efektif Rangga dan Husni harus mengikuti prime time gim tersebut.
“Biasanya main dari jam 8 sampai jam 1 pagi. 5 jam latihan. Ngga capek sih, kadang-kadang sampai pagi baru tidur. Gue sendiri sih tidur jam 6 pagi, pemain yang lain jam 3-4 subuh udah tidur. Jam 1-2 siang baru bangun, terus mandi, makan, ya paling lihat online PUBG sambil saya buka-buka,” jelas Langga pada VOA.
Bagi Husni Ramadan, menjadi atlet esport adalah peluang untuk mendulang rezeki. Berawal dari hobinya begadang bermain gim setelah perkuliahan, Husni ditarik bergabung dengan tim Onic setelah memenangkan sebuah turnamen PUBG di kampung halamannya, Jambi.
“Mereka lihat saya di suatu turnamen gitu. Besoknya saya diundang main bersama, tiba-tiba dia nawar (gabung dengan tim Onic). Gue langsung aja bilang oke,” cerita Husni. Tanpa pikir panjang, Husni memutuskan untuk hijrah ke Jakarta dan rela meninggalkan perkuliahan semester tengahnya yang tengah berjalan.
Rekan satu tim Husni, Langga asal Banten, juga meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai bank untuk bergabung dengan tim Onic. Pria berusia 24 tahun ini masih berhutang untuk menyelesaikan skripsi untuk mendapatkan ijazahnya di sebuah kampus swasta di bilangan Jakarta Barat. “Ya kita udah hobi main game terus dibayar ya udah pasti enjoy dong,” ujar Langga.
Gaji dan Fasilitas Atlet esport
Industri profesional esport berkembang dengan pesat. Terbukti dengan mulai bermunculannya klub-klub esport yang dikelola secara professional, tidak kalah dengan standar yang diberlakukan pada olahraga-olahraga konvensional seperti sepak bola dan bulu tangkis. Onic misalnya yang memberikan fasilitas mewah kepada atlet binaannya. Mulai dari game house berupa mansion mewah, lengkap dengan kolam renang, kamar tidur berpenyejuk udara, wifi berkecepatan tinggi, dapur beserta juru masak pribadi, hingga ponsel iPhone untuk masing-masing atletnya. Perbulannya para atlet mendapatkan gaji bulanan dan bonus turnamen kisaran satu hingga lima puluh juta rupiah.
“Ada 1 anak kita dari (atlet gim) Mobile Legends. Jadi mereka datang pertama kali bawa duit Rp 200.000 - Rp300.000 dari Pontianak, datang bawa baju cuma satu kantong plastik ngga bawa tas, cuma bawa kantong plastik. Sekarang dia bisa beliin rumah buat orang tua di Pontianak,” ujar Justin Widjaja direktur manajer ONIC.
Ditanya mengenai sumber pendanaan, Justin mengaku pemasukan terbesar bukan berasal dar turnamen, melainkan dari sponsor. Seperti halnya olahraga-olahraga konvensional pada umumnya, pemain esport akan mengenakan kaos jersey timnya yang dipenuhi dengan merek-merek yang memberikan sponsor untuk klubnya.
Onic sendiri memiliki 40 atlet yang bermain di lima cabang olahraga berbeda. Lima cabang olahraga yang difokuskan Onic sesuai dengan turnamen-turnamen yang banyak digandrungi di Indonesia dan Asia, antara lain PUBG mobile, Pro Evolution Soccer, Mobile Legends, Free fire, dan Chess Rush. Usia pemainnya masih sangat belia, mulai dari 16 hingga 27 tahun. Tiga di antaranya masih bersekolah di tingkatan SMA.
Video Games: Olahraga atau Candu?
Dengan besarnya antusiasme serta potensi industri esport di Indonesia, pemerintah pun tak mau ketinggalan dan segera menggaet esport dengan mengakuinya sebagai cabang olahraga baru sejak 2016 lalu. Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot Dewa Broto mengaku Indonesia memiliki peluang besar memboyong medali emas di berbagai kejuaraan internasional esport.
“Pada saat Asian Games, esport itu salah satu cabang olahraga yang dieksibisikan. Atas persetujuan OCA (Olympic Council of Asia) esport bisa dipertandingkan sebagai eksibisi dan ada tujuh negara yang ikut. (Pertandingan) yang paling dekat itu nanti di SEA Games di Manila November mendatang. Indonesia berharap akan peroleh tiga medali emas,” ujar Gatot di kantornya.
Keseriusan pemerintah dalam menggarap esport sebagai sebuah cabang olahraga ditunjukkan langsung oleh Presiden Jokowi saat menyelenggarakan Piala Presiden khusus untuk esport tingkat nasional. Tidak tanggung-tanggung, ambisi pemerintah untuk mengembangkan esport dilanjutkan dengan penyelenggaraan kedua kalinya Piala Presiden untuk esport di akhir tahun 2019 ini dengan cakupan turnamen se-Asia Tenggara.
Mantan Menpora Imam Nahrawi pun sempat mendapat sorotan awal tahun 2019 lalu ketika menyatakan ingin memasukkan video games ke dalam kurikulum sekolah. Hal ini mendapatkan respon bervariasi. Tidak heran, karena konotasi video games selama ini yang justru identik dengan candu dan nilai buruk sekolah.
Gatot tidak menampik adanya citra buruk video games yang dianggap justru jauh dari citra anak berprestasi. Banyak pihak yang justru meragukan istilah ‘olahraga’ dalam esport karena dianggap jauh dari menyehatkan.
“Kami sekarang di sejumlah sosialisasi itu mencoba menggunakan role model. Role Model itu para atlet-atlet kawakan esport tertentu, mereka kita buatkan semacam kayak videonya untuk public campaign bahwa sebelum bertanding itu ada aktivitas fisik yang harus mereka lakukan, sehingga supaya mereka (masyarakat) juga berpikir bahwa The Real athlete untuk esport itu adalah sama dengan persiapan seorang atlet yang akan berlaga di cabang olahraga yang lain. Tapi lagi-lagi bahwasanya ada stigma negatif itu mungkin tantangan bagi kami dan itu butuh waktu lah. Saya ngga yakin dibutuhkan waktu 1-2 tahun, mungkin 5 tahun lah untuk mengangkat bahwa ini sebagai olahraga yang bisa diterima,” ujar Gatot.
Onic-pun menyadari adanya persepsi buruk ini di masyarakat. Dalam menu latihan rutin atletnya, Onic berinisiatif dengan memasukkan menu latihan fisik 1-2 jam setiap minggunya untuk mengimbangi kesehatan fisik atletnya. “Kita punya physical coach, ini spesifik buat anak-anak buat endurance, terus misalnya latih fokus, latih mental. Jadi mereka ngga cuma main game aja,” kata Justin.
Sumbu Pendek Masa Aktif Atlet Esport
“Itu tuh yang baru ada di pikiran buat ke depan sih. Gimana ya, kalau misalnya emang udah lulus kuliah dan di Onic masih enak, terus ekosistem esport yang juga masih bagus, ya okelah kalo buat dilanjutin ya kan,” jawab Langga ketika ditanya mengenai rencananya ke depan. Pria bernama panjang Fatria Airlangga Lubis ini mengaku masih menimbang-nimbang untuk melanjutkan karirnya di bidang yang juga merupakan hobinya ini. Bagi sebagian atlet esport, menjadi atlet video games belum menjadi sebuah cita-cita utama. Bisa dipahami karena bidang yang memang masih terbilang baru dan ekosistem olahraga ini yang belum terbentuk matang di tanah air. Onic-pun mengakui bahwa produktifitas atlet cenderung menurun seiring bertambahnya usia.
“Yang jadi main concern juga buat kita adalah lifespan seorang atlet esport itu sangat pendek ya. Jadi start umur 15, produktif mungkin sampai 21 sampai 25, setalah itu start declining in performance usually. Kayak motor skill-nya itu pasti turun. Jadi the big homework buat kita adalah kita mempersiapkan mereka for the next five years setelah mereka lulus dari esport.”
Meyakinkan orang tua untuk mengambil karir ini juga bukan perkara mudah. Langga mengaku harus memberi upaya lebih untuk mendapatkan izin dari orang tuanya untuk menjadi atlet esport. “Orang tua sih sebenarnya keberatan waktu itu,” tukas Rangga. “(pesan orang tua) Yang penting kuliah lancar kan, terus ya udahsih gitu tinggal dikasih tahu skema gaji dan bonus, segini, baru mereka ‘oh iya’.”
Berdasarkan laporan newzoo, pasar game global tahun 2020 diprediksi mencapai nilai Rp25 triliun dan akan terus bertumbuh. Indonesia sendiri merupakan salah satu pasar video games terbesar di Asia Pasifik. Rob Clinton Kardinal, ketua Asosiasi Video Games Indonesia atau AVGI, menyebut peluang Indonesia untuk melahirkan pemain kelas dunia sangat besar. Hal ini didukung dengan besarnya jumlah pemain aktif di Indonesia.
“Indonesia itu salah satu lah ya saya bilang, salah satu yang terbesar di industri ini. Karena dengan jumlah 260 juta sekian (pemain), kita itu pemain gamenya luar biasa banyak. Ada sampai delapan puluh hingga Sembilan puluh juta pemain esport aktif ya,” ujar Clinton. (rw/dw)