Kehidupan sehari-hari di kota Shipshewana, negara bagian Indiana, merupakan paduan masa lalu dan masa kini. Kereta kuda berbagi jalan dengan mobil. Para perempuan bertutup kepala dan bergaun panjang tradisional berbelanja bersama penduduk lain yang berkacamata hitam dan bercelana jeans. Walaupun kota di wilayah barat tengah Amerika itu merupakan tujuan wisata, orang-orang di sana bukanlah pelaku sejarah. Mereka adalah kaum Amish, salah satu denominasi Kristen di Amerika.
Para anggota gereja Amish berpakaian dengan bahan yang polos dan murah, menghindari pendidikan tinggi, hidup sederhana, dan tidak menggunakanan barang-barang modern, seperti mobil, listrik, dan telepon.
Alvin Miller dibesarkan dengan cara demikian. Tetapi 13 tahun setelah menikah, ia dan keluarganya bergabung dengan gereja Mennonite Amish yang tidak terlalu ketat.
“Ada gereja-gereja Monnonite yang sangat progresif sampai yang sangat tradisional seperti Amish. Ada banyak aliran yang berbeda dalam kepercayaan Anabaptis.”
Gereja beraliran Anabaptis berasal dari gerakan Reformasi Eropa abad ke-16. Agama ini menekankan pasifisme atau sikap anti-perang, pemisahan yang ketat antara agama dan pemerintahan, dan mengikuti ajaran pembaptisan orang dewasa.
Miller menghubungkan banyaknya varian dalam gereja itu dengan keleluasaan yang memungkinkan anggotanya untuk mencari kecocokan di gereja, dan bukannya meninggalkannya. Hal itu mungkin merupakan salah satu alasan mengapa populasi Amish berkembang dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir. Sebaliknya, sebuah survei terbaru oleh Lembaga survei Pew Research Center mendapati bahwa lebih dari seperempat mahasiswa Amerika, atau kira-kira sama dengan usia baptis kamula muda Amish, menyatakan diri tidak memeluk agama apapun.
“Orang memandang kami sebagai masyarakat, kelompok budaya yang memiliki banyak aturan. Orang menganggap dan mengatakan sebagian aturan itu sebagai hal yang bodoh, misalnya mengapa kita tidak boleh punya mobil? Ini sebenarnya berhubungan dengan niat menyingkirkan sebagian keinginan pribadi dan egoisme demi untuk menjadi bagian dari suatu kelompok. Bagi saya ada banyak manfaat dari cara hidup demikian.”
Manfaat itu berhubungan dengan rasa kekeluargaan dan ikatan dalam masyarakat, serta rasa gotong royong untuk membantu satu sama lain. Tradisi ini telah berhasil dijalankan selama 200 tahun dalam komunitas di Shipshewana, dan di Amerika Serikat sejak 1700-an.
Miller mengatakan lebih mudah pada zaman dulu ketika mereka harus saling membantu di lahan pertanian. Kini keadaan ekonomi telah memaksa sebagian warga Amish untuk mencari mata pencaharian alternatif seperti membuat kue, membuat kain perca, dan membuat mebel.
Kaum Amish sering mengulurkan tangan membantu orang-orang di luar komunitas mereka sendiri.
“Kami mengadakan banyak acara lelang yang hasilnya untuk amal. Ada lelang untuk menggalang dana untuk Haiti, untuk Habitat for Humanity yang memberikan bantuan pembangunan rumah, untuk lembaga-lembaga yang membantu orang-orang difabel, dan lain sebagainya. Saya tidak bisa menyebutkan semuanya. Pada tahun 2014 lelang-lelang itu berhasil menggalang dana lebih dari sejuta dolar.”
Miller mengatakan alasan lain yang menurutnya membuat gereja Amish berkembang sementara yang lain berkurang adalah kehidupan komunitas di mana para anggotanya benar-benar saling mengasihi dan peduli satu sama lain.
“Kami merasa bahwa jika kita mengasihi Kristus kita berada di sini untuk melakukan karyanya. Seperti apa karya Kristus? Apa yang dilakukannya ketika dia berada di dunia? Dia mengulurkan tangan kepada orang-orang yang tertindas, kepada anak-anak, dan orang-orang yang tersakiti. Pertanyaan bagi saya setiap hari adalah: Alvin, seberapa baik kau lakukan itu?”
Alvin Miller mengatakan bahwa setiap orang dapat membuat keadaan seperti di kota Shipshewana di manapun mereka berada dan apa pun keyakinan atau agama mereka. Dia menambahkan, yang penting adalah adanya tekad untuk melakukan sesuatu setiap hari bagi mereka yang membutuhkan. [lt]