Kepala Kejari Pematangsiantar, Agustinus Wijono mengeluarkan pernyataan secara resmi menghentikan kasus penodaan agama yang menjerat empat petugas forensik RSUD Djasamen Saragih di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara (SUMUT). Sebelumnya, RS, ESPS, DAAY, dan REP, dijerat dengan Pasal 156 a juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP tentang Penodaan Agama, lantaran memulasara jenazah suspect Covid-19 berjenis kelamin perempuan yang bukan muhrimnya berinisial Z.
“Kekeliruan dari jaksa peneliti dalam menafsirkan unsur. Sehingga tidak terpenuhinya unsur-unsur yang didakwakan kepada para terdakwa berdasarkan Pasal 14 huruf a juncto Pasal 140 ayat 2 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),” kata Agustinus saat konferensi pers di Kejari Pematangsiantar, Rabu (24/2) sore.
Surat penetapan penghentian penuntutan terhadap empat petugas forensik itu telah resmi dikeluarkan Kejari Pematangsiantar. “Maka pada hari ini kami mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan sebagaimana yang telah disampaikan tadi,” ucap Agustinus.
MUI Sempat Ajukan Pengaduan
Sebelumnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pematangsiantar, M Ali Lubis membantah bahwa pengaduan terhadap empat petugas forensik itu dilakukan pihaknya. Menurutnya, ada elemen masyarakat lain yang mengajak suami korban untuk membuat pengaduan terkait dengan penodaan agama.
“Pengaduan itu dari MUI tidak lagi ikut mengintervensi karena mereka sudah minta maaf di kantor, dan rupanya elemen lain itu yang mengadukan ke kepolisian,” kata Ali kepada VOA, Rabu (24/2) siang.
Lanjutnya, MUI Pematangsiantar juga tidak pernah mengatakan bahwa apa yang dilakukan empat petugas forensik itu sebagai tindakan penodaan agama.
“Kami hanya bilang bahwa itu pelanggaran keras hukum Islam. Saya tidak pernah mengucapkan kata-kata penistaan tapi ini adalah pelanggaran terhadap hukum Islam. Kami sudah anjurkan perdamaian,” ucap Ali.
ICJR : Tindakan Pemulasaran Jenazah Perempuan di Sumut Bukan Penodaan Agama
Sementara, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus A.T. Napitupulu dalam keterangan tertulisnya menyebut bahwa empat laki-laki petugas forensik yang melakukan pemulasaraan terhadap jenazah perempuan bukan sebuah tindakan penodaan agama.
“Kasus tersebut sulit dikatakan memenuhi unsur penodaan agama. Merujuk pada Pasal 156 a KUHP, terdapat dua unsur yang sangat penting dan sering tidak diperhatikan dengan hati-hati dan tidak diimplementasikan dengan baik dalam kasus-kasus penodaan agama. Pertama, unsur kesengajaan dengan maksud melakukan penodaan agama di muka umum,” ujar Erasmus.
“Lalu, bentuk perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama,” tambahnya.
Kasus ini berawal saat petugas forensik yakni RS, ESPS, DAAY, dan REP, menangani jenazah pasien suspect Covid-19 berjenis kelamin perempuan berinisial Z, pada 20 September 2020. Namun, empat petugas forensik itu dituduh tidak menjalani syariat Islam fardu kifayah saat memulasarakan jenazah perempuan tersebut.
Suami dari jenazah perempuan itu kemudian melaporkan kasus ini dan polisi menjerat empat petugas forensik itu dengan Pasal 156 huruf a tentang Penodaan Agama dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Namun, tidak dilakukan penahanan terhadap empat petugas forensik itu. Mereka hanya menjadi tahanan kota. [aa/em]