Kasus kekerasan terhadap perempuan masih marak terjadi di Indonesia. Di masa pandemi virus corona, kekerasan seperti itu bahkan menyasar kelompok-kelompok rentan lainnya, seperti orang tua, anak, dan LGBT. Komnas Perempuan mencatat ada lebih dari 1.300 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2020, namun kurang dari 10 persen perempuan yang berani melaporkan kasus mereka.
Kekerasan berbasis gender, saat ini berkembang secara daring seiring kemajuan perangkat teknologi dan internet. Di media-media sosial, contohnya, kini mudah ditemukan pernyataan-pernyataan yang merugikan perempuan, dan bahkan cenderung melecehkan hak-hak kaum hawa.
Presidium Koalisi Perempuan Indonesia, Wiwik Afifah, mengatakan kekerasan berbasis gender daring terjadi akibat perbedaan cara pandang secara seksual yang telah terkonstruksi secara sosial di masyarakat. Perempuan dan anak sering dianggap sebagai obyek oleh kaum lelaki dewasa atau pemilik kuasa.
“Kekerasan berbasis gender online menjadi perbuatan yang dilakukan karena ada perbedaan seks, perbedaan gender, atau konstruksi sosial yang mengakibatkan ada kekerasan fisik, atau dampak fisik, psikis, seksual, bahkan ekonomi, yang difasilitasi oleh teknologi, difasilitasi oleh internet, difasilitasi oleh telepon genggam, komputer, dan lain-lain,” kata Wiwik Afifah.
Direktur Institut KAPAL (Lingkaran Pendidikan Alternatif) Perempuan, Misiyah, menyebut pandangan yang merugikan perempuan yang sering berakar dari pemahaman yang keliru terhadap norma, tradisi dan agama sering digunakan untuk melegitimasi kekerasan. Masyarakat juga, katanya, yang cenderung permisif atau membiarkan kekerasan terjadi, sementara perlindungan hukum masih lemah.
“Kekerasan daring atau pun kekerasan berbasis gender lainnya, itu pada intinya punya cara pandang mengenai seksual, bahwa perempuan dianggap sebagai obyek seksual. Itu pandangan yang sangat kuat, yang biasa kita kenal dengan budaya patriarki. Yang kedua, kekuasaan. Bahwa pelaku menggunakan kekuasaan, kuasa karena kelaki-lakiannya, kuasa karena posisi-posisi sosialnya, kuasa karena ekonomi, politik, dan budaya,” kata Misiyah.
Psikiater, Nalini Muhdi, menyebut kekerasan berbasis gender berdampak serius terhadap jiwa dan raga korban. Selain mengakibatkan timbulnya rasa tidak percaya diri dan tidak aman, kekerasan ini juga bisa menghancurkan masa depan korban.
“Kekerasan online atau internet violent berbasis gender ini bukan hanya sekedar sexual violent, tetapi menyangkut semua, baik fisik, seksual, psychological emotional, verbal itu yang paling banyak,” jelas Nalini Muhdi.
Lemahnya perlindungan hukum mendorong para aktivis perempuan dan anak untuk mendesak pemerintah serius mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, dan memastikan sanksi hukum yang berat bagi pelaku kekerasan.
Wali Kota Surabaya terpilih, Eri Cahyadi, mengatakan perlunya kebijakan di setiap daerah untuk membuat peraturan yang melindungi perempuan dan anak dari kekerasan. Melalui undang-undang, peraturan daerah, serta peraturan turunannya, ia berharap kekerasan terhadap perempuan dan anak data dicegah.
“Kekerasan itu akan muncul terus karena imajinasi yang salah. Akibatnya apa ketika anak di-bully, ketika anak itu diolok-olokkan, ketika wanita itu diintimidasi, maka psikologisnya dia yang kena. Dia akan menjadi orang yang semakin terpuruk. Ketika sudah ada Undang-Undang pencegahan, atau Undang-Undang tidak ada lagi kekerasan kepada wanita, anak, lansia, dan kaum yang rentan, itulah keberhasilan bangsa Indonesia, khususnya sebagai pemerintah,” imbuh Eri Cahyadi. [pr/ab]