Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu dalam diskusi secara virtual di Jakarta menjelaskan perkara kekerasan seksual mencapai 132 atau 93 persen dari total 142 kasus kekerasan dan diskriminasi yang menimpa perempuan difabel di sebelas provinsi pada 2017-2019.
Dari jumlah tersebut, 50 kasus tidak terekspos atau tidak jelas penangananya.
Bila diperinci, kasus pemerkosaan paling banyak terjadi, yaitu 33 persen, diikuti oleh diskriminasi sebanyak 20 persen dan kekerasan fisik 17 persen. Selanjutnya, eksploitasi (9 persen), kekerasan dalam rumah tangga (8 persen), pelecehan seksual (7 persen), kekerasan psikis (5 persen), tindakan kejam dan tidak manusiawi (1 persen).
Menurut Maulani, pelaku kekerasan terbanyak terhadap perempuan difabel adalah dari pihak keluarga sendiri, disusul oleh teman atau tetangga, serta aparat negara, termasuk guru.
"Fenomena kekerasan seksual pada (perempuan) penyandang disabilitas adalah fenomena gunung es yang sangat sulit terungkap maupun terselesaikan kasusnya," katanya.
Hal itu terjadi, imbuhnya karena sikap, perilaku, maupun sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada perempuan dan anak penyandang disabilitas
Situasi yang memalukan tersebut, lanjut Maulani, harus menjadi perhatian semua pihak. Bukan hanya penegak hukum tapi juga pembuat dan pelaksana kebijakan, termasuk media sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak perempuan dan anak penyandang disabilitas.
Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Herawati, seperti kaum hawa lainnya, perempuan difabel yang menjadi korban kekerasan seksual juga masih banyak yang takut melapor kepada pihak berwenang. Dia mengklaim proses pelaporan kepada aparat berwenang masih tidak nyaman bagi korban.
"Jadi sudah mengalami kekerasan dalam kasus yang sebenarnya, tetapi ketika melapor mereka juga mengalami beberapa sikap atau pelayanan justru membuat mereka berkali-kali menjadi korban," ujar Mike.
Mike menambahkan di masa pandemi Covid-19 pendampingan terhadap perempuan disabiitas yang menjadi korban kekerasan seksual menjadi sulit. Selain itu, hambatan lainnya adalah sulit untuk menjangkau atau memantau perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual atau kekerasan lainnya.
Untuk mengatasi berbagai hambatan terkait kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak difabel, Mike menekankan Koalisi Perempuan Indonesia mendorong Dewan Perwakilan Rakyat untuk memasukkan Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi prioritas dalam program legislasi nasional pada 2021.
Koalisi Perempuan Indonesia juga mendorong pemerintah untuk berkomitmen dalam penyelesaian beragam kasus kekerasan seksual dan kasus kekerasan lainnya di mana perempuan difabel menjadi korban. Pemerintah juga harus memastikan perempuan difabel memperoleh akses yang lebih mudah dalam mendapat layanan.
Pemerintah juga perlu memperkuat perspektif gender di kalangan aparatur negara, termasuk penegak hukum.
Menanggapi beragam persoalan yang dihadapi perempuan difabel yangmenjadi korban seksual, Venesia Danis, Deputi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengaku prihatin terhadap berbagai kasus kekerasan seksual dan kekerasan lainnya yang terjadi terhadap perempuan dan anak disabilitas.
Menurut Venesia, kementeriannya menyadari perspektif gender aparat penegak hukum masih rendah. Terutama perspektif terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas. Untuk meningkatkan hal itu, Kementerian Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak terus memberikan pelatihan-pelatihan dan sosialisasi.
"Banyak sekali kasus seperti ini (kekerasan seksual menimpa perempuan difabel) yang ditelantarkan, tidak diperhatikan oleh aparat penegak hukum," tutur Venesia
Karena itu, lanjut Venesia Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah meminta kepada dinas-dinasnya di daerah untuk menjemput bola dan bekerjasama dengan HWDI di berbagai daerah. [fw/ft]