Muncul kekhawatiran akan terjadinya perlombaan senjata nuklir global baru setelah Presiden Rusia Vladimir Putin pada minggu ini mengumumkan akan menangguhkan partisipasi negara itu dalam Perjanjian START Baru, yang membatasi jumlah hulu ledak milik Rusia dan Amerika Serikat.
Kesepakatan yang secara resmi dikenal sebagai “Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis Baru” (Strategic Arms Reduction Treaty) ditandatangani oleh Presiden Amerika Serikat saat itu, Barack Obama, dan rekannya dari Rusia, Dmitry Medvedev, di Praha pada 2010. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian nuklir terakhir yang tersisa antara AS dan Rusia.
Presiden Putin, pada Selasa (21/2) lalu, mengumumkan akan menangguhkan partisipasi Rusia, dengan mengatakan perjanjian itu “tidak masuk akal” ketika NATO membantu Ukraina melawan pasukan Rusia. Ia mengatakan telah memerintahkan senjata nuklir berbasis darat Rusia berada dalam kondisi siap tempur.
Dalam pidato yang disiarkan di televisi pada Kamis (23/2) pada malam peringatan invasinya ke Rusia, Putin menjanjikan investasi lebih lanjut bagi kekuatan nuklir Rusia.
“Kami akan meningkatkan perhatian untuk memperkuat tiga kekuatan di darat, laut dan udara,” ujar Putin seraya menegaskan “kami akan melanjutkan produksi massal sistem Kinzhal hipersonik berbasis udara dan akan memulai pasokan massal rudal hipersonik Zirkon berbasis laut.”
Pakar: Tak Ada Dampak Langsung
Pakar politik Ian Hurd di Northwestern University mengatakan bagaimana pun juga penangguhan perjanjian nuklir oleh Rusia tidak memiliki dampak langsung.
“Perjanjian START Baru dirancang untuk membatasi jumlah hulu ledak nuklir yang dapat dimiliki masing-masing pihak. Perjanjian ini sendiri akan berakhir, dan dengan berakhirnya perjanjian itu tidak akan mengubah substansi hubungan militer antar kedua negara. Tetapi mungkin menjadi simbol bahwa Rusia akan menggunakan senjata nuklir untuk meningkatkan ketidaksepakatan politik yang terjadi saat ini,” ujarnya kepada Associated Press.
Amerika Serikat dan Rusia sama-sama memiliki lebih dari 90 persen senjata nuklir dunia. Perjanjian START Baru membatasi kedua negara untuk hanya memiliki masing-masing 1.550 hulu ledak dan memungkinkan masing-masing pihak untuk memeriksa lokasi nuklir pihak lain hingga 18 kali dalam setahun.
Inspeksi itu ditangguhkan tiga tahun lalu karena pandemi virus corona dan belum dilanjutkan kembali. Amerika Serikat menyalahkan Rusia atas penangguhan itu.
“Satu-satunya secercah harapan di sini adalah bahwa Rusia tidak menarik diri dari perjanjian itu, melainkan menangguhkan partisipasinya,” ujar Jane Kinnimont, Direktur Kebijakan dan Dampak di Jaringan Kepemimpinan Eropa. “Dan sebenarnya ketika perjanjian itu diperpanjang saat Biden menjabat, Rusia yang berusaha mendorong Amerika Serikat untuk melanjutkan perjanjian itu,” tambahnya.
Presiden Biden menyebut penangguhan Perjanjian START Baru oleh Rusia sebagai “kesalahan besar.” Seorang juru bicara Sekretaris Jenderal PBB juga menyerukan Rusia untuk kembali ke kesepakatan itu
China Melihat Peluang?
Terlepas dari hubungan Rusia dan China yang menghangat, China juga meminta Rusia dan Amerika Serikat untuk mematuhi perjanjian nuklir tersebut.
“Perjanjian itu penting untuk menjaga stabilitas strategis global, meningkatkan perdamaian internasional dan regional, serta mencapai tujuan dunia yang bebas senjata nuklir,” ujar Wang Wenbin, juru bicara Kementerian Luar Negeri China kepada wartawan pada Rabu. “Kami berharap kedua belah pihak akan menyelesaikan perbedaan mereka dengan baik lewat dialog dan konsultasi yang konstruktif untuk memastikan kelancaran implementasi perjanjian tersebut,” tambahnya.
Kekhawatiran akan terjadinya perlombaan senjata nuklir itu tidak hanya berkisar antara Amerika Serikat dan Rusia, tetapi juga kekuatan nuklir lain, termasuk China.
“Saya pikir sangat mungkin para pemimpin China melihat penangguhan Perjanjian START Baru oleh Putin itu sebagai jendela peluang untuk mempercepat kemampuan nuklirnya lebih jauh lagi,” ujar Alexander Neil, analis Forum Pasifik Hawai.
“Mengingat kesulitan di Ukraina dan meningkatnya retorika tentang Taiwan, saya kira China mungkin merasa ini adalah peluang untuk meningkatkan kemampuan dan persenjataan nuklirnya, dan untuk lebih menyelaraskan diri dengan Rusia,” ujarnya kepada Reuters.
Kinninmont di Jaringan Kepemimpinan Eropa setuju akan hal itu.
“Kekhawatiran terbesar Amerika Serikat dalam hal ini sebenarnya adalah apa yang terjadi pada program nuklir China di masa depan,” ujarnya kepada VOA. “Meskipun Rusia dan China berteman, mereka sebenarnya tidak merasa nyaman satu sama lain. Rusia tidak ingin dikalahkan oleh China dengan persenjataan nuklir yang lebih besar.” [em/rs]
Forum