Eropa sekarang ini menjadi episentrum pandemi virus maut corona, dengan lebih dari 150 ribu kasus dan ribuan kematian akibat virus itu. Sementara jumlah kasus menjulang di berbagai penjuru benua itu, para pengamat mempertanyakan apakah ke-27 negara anggota Uni Eropa dapat tetap kompak dalam perang melawan penularannya. Mereka menyatakan ketangguhan dan kerjasama Eropa terganggu selama perebakan wabah.
Dalam pidato 11 Maret lalu, Kanselir Jerman Angela Merkel mengakui virus itu membuat benua tersebut lengah.
“Sewaktu virus ada di sana, dan masyarakat tidak memiliki imunitas, dan tidak ada vaksinasi atau terapi,” lanjutnya, maka ada persentase yang tinggi, para pakar menyatakan 60 hingga 70 persen populasi akan terjangkit, selama kondisinya seperti ini.” Merkel sendiri sedang melakukan swakarantina sebagai tindakan pencegahan setelah melakukan kontak dengan seorang dokter yang positif terjangkit COVID-19.
Kanselir Merkel telah menutup sebagian perbatasan Jerman, menganulir Perjanjian Schengen mengenai kebebasan bergerak bagi orang dan barang di seluruh Eropa. Negara-negara anggota Uni Eropa lainnya juga mengambil langkah-langkah untuk menghadapi penularan virus itu.
Schengen, yang dianggap banyak kalangan penting untuk menciptakan suatu benua bersatu, mencakup populasi lebih dari 420 juta orang dan daerah seluas 4.312.099 kilometer persegi.
Tetapi sebagian pengecam menyatakan tindakan individual oleh para anggota Uni Eropa dapat menghancurkan blok itu.
“Krisis ini, bukannya membuat Eropa semakin erat, malah memperkuat masing-masing negara anggota dengan mengorbankan institusi-institusi Uni Eropa. Pada berbagai tingkatan, masing-masing negara itu menjalankan kebijakan luar negeri, ekonomi dan sosialnya sendiri,” kata pakar Eropa dari Carnegie, Judy Dempsey dalam suatu artikel baru-baru ini. Tetapi yang lainnya menyatakan bahwa tindakan yang diambil Merkel hanya bersifat sementara. [uh/ab]