Di bawah kanopi jendela berloteng di gereja modern hanya dua blok dari tempat diselenggarakannya Konferensi AIDS Internasional di Washington, DC, para umat menari dan menyanyikan lagu rohani "We are Marching in the Light of God" (Kami Berbaris Dalam Cahaya Tuhan).
Di dinding gereja terpasang kain bersulamkan nama-nama orang dengan AIDS yang telah meninggal dunia. Pendeta David North berkhutbah bahwa yang telah meninggal tidak benar-benar pergi.
“Kalian masih di sini!” ujarnya, mengacu pada nama-nama di kain yang berwarna-warni tersebut. Semua keindahan dan keajaiban sebagai individual masih ada di sini. Masih sangat hidup.”
Metropolitan Community Churches adalah gereja Protestan yang melayani kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender. Gereja ini didirikan pada akhir 1960an, ketika gereja-gereja lain menolak homoseksualitas, dan sekarang gereja ini memiliki beberapa ratus cabang di seluruh negeri.
North merupakan pendeta Baptis ketika hasil tes menunjukkan ia HIV positif pada 1991. Ia diusir dari gereja Baptis dan istrinya melarangnya bertemu anak-anaknya karena ia gay.
“Saya kehilangan semuanya, pekerjaan, keluarga dan semuanya,” ujarnya dalam sebuah wawancara setelah misa harian yang diselenggarakan selama konferensi AIDS pada 22-27 Juli.
AIDS membawa banyak dilemma bagi umat Kristiani. Haruskah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dihukum karena perilaku mereka yang menyebabkan mereka terinfeksi virus? Ataukah mereka harus ditolong, atas nama kasih?
Ketika epidemi AIDS muncul pada 1980an, beberapa pemimpin umat Kristen memilih langkah yang pertama. “AIDS bukan hanya hukuman Tuhan untuk orang-orang homoseksual, tapi juga hukuman bagi masyarakat yang toleran terhadap kaum homoseksual,” ujar penginjil di televise Jerry Falwell.
Namun sejak saat itu telah terjadi evolusi sikap, sebagian karena ada para rohaniwan yang terinfeksi virus yang menyebabkan AIDS itu.
Christo Greyling adalah pastor gereja Dutch Reformed dari Afrika Selatan dan juga mengidap hemofilia. Jemaahnya tampak tenang saat ia memberitahu mereka bahwa ia terinfeksi HIV lewat aliran darah.
“Lalu ada seseorang yang mendekati saya setelah misa dan berkata, ‘Saya bersimpati dengan Anda karena Anda terkena HIV dengan cara yang tidak salah. Namun mereka, orang-orang yang mendapatkannya lewat hubungan seks, itu salah mereka sendiri,’” Greyling mengenang dalam wawancara pada konferensi AIDS. “Saat itulah saya sadar bahwa umat beragama, pemimpin gereja tidak dapat bekerja dengan konsep kita dan mereka.”
Pada 2006, Greyling membantu mendirikan INERELA+, sebuah organisasi berbasis di Afrika untuk para pemimpin agama yang hidup dengan HIV. Organisasi tersebut memiliki 7.000 anggota di seluruh dunia dari bermacam kelompok agama.
Greyling juga merupakan direktur HIV dan penyakit menular untuk World Vision, salah satu organisasi donor penginjil terbesar di dunia, dimana ia mendidik para pemuka agama untuk memerangi diskriminas atas orang-orang dengan HIV. Ia mengatakan bahwa kondom harus menjadi bagian dari perlawanan terhadap epidemi.
“Tuhan berkehendak supaya kita hidup sesuai keinginannya, yaitu selibat dan setia dalam menjalani hubungan,” ujarnya. “Tapi kami sadar bahwa tidak semua orang dapat membuat pilihan-pilihan tersebut.”
Selama konferensi tersebut, Greyling berbicara dalam seminar penginjil dan kekhawatiran para pemimpin agama Kristen mengenai AIDS. Ia memuji mereka karena memiliki pendekatan pragmatis yang menurutnya hampir tidak ada saat ia membuka diagnosis yang ia terima.
“Sejak 1991 sampai sekarang, saya kira kita bisa merayakan bagaimana gereja dan komunitas keimanan telah melangkah lebih jauh dari situasi kita dulu,” tutur Greyling.
Dorongan komunitas ini telah membuat seorang penginjil Kristiani, mantan presiden George W. Bush, untuk mendirikan inisiatif AIDS yang dipuji telah menyelamatkan banyak nyawa.
Sementara itu bagi Pendeta North, hidupnya telah berubah. Ia memenangkan kasus pengasuhan anak dan berekonsiliasi dengan keluarga biologisnya. Kondisi kesehatannya pun membaik dan terkendali.
“Jadi apa yang telah hilang tidak hanya kembali, tapi saya mendapatkan lebih banyak lagi,” ujarnya. Termasuk gereja yang mengasihi kaum homoseksual dimana ia dapat melayani Tuhan.
Di dinding gereja terpasang kain bersulamkan nama-nama orang dengan AIDS yang telah meninggal dunia. Pendeta David North berkhutbah bahwa yang telah meninggal tidak benar-benar pergi.
“Kalian masih di sini!” ujarnya, mengacu pada nama-nama di kain yang berwarna-warni tersebut. Semua keindahan dan keajaiban sebagai individual masih ada di sini. Masih sangat hidup.”
Metropolitan Community Churches adalah gereja Protestan yang melayani kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender. Gereja ini didirikan pada akhir 1960an, ketika gereja-gereja lain menolak homoseksualitas, dan sekarang gereja ini memiliki beberapa ratus cabang di seluruh negeri.
North merupakan pendeta Baptis ketika hasil tes menunjukkan ia HIV positif pada 1991. Ia diusir dari gereja Baptis dan istrinya melarangnya bertemu anak-anaknya karena ia gay.
“Saya kehilangan semuanya, pekerjaan, keluarga dan semuanya,” ujarnya dalam sebuah wawancara setelah misa harian yang diselenggarakan selama konferensi AIDS pada 22-27 Juli.
AIDS membawa banyak dilemma bagi umat Kristiani. Haruskah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dihukum karena perilaku mereka yang menyebabkan mereka terinfeksi virus? Ataukah mereka harus ditolong, atas nama kasih?
Ketika epidemi AIDS muncul pada 1980an, beberapa pemimpin umat Kristen memilih langkah yang pertama. “AIDS bukan hanya hukuman Tuhan untuk orang-orang homoseksual, tapi juga hukuman bagi masyarakat yang toleran terhadap kaum homoseksual,” ujar penginjil di televise Jerry Falwell.
Namun sejak saat itu telah terjadi evolusi sikap, sebagian karena ada para rohaniwan yang terinfeksi virus yang menyebabkan AIDS itu.
Christo Greyling adalah pastor gereja Dutch Reformed dari Afrika Selatan dan juga mengidap hemofilia. Jemaahnya tampak tenang saat ia memberitahu mereka bahwa ia terinfeksi HIV lewat aliran darah.
“Lalu ada seseorang yang mendekati saya setelah misa dan berkata, ‘Saya bersimpati dengan Anda karena Anda terkena HIV dengan cara yang tidak salah. Namun mereka, orang-orang yang mendapatkannya lewat hubungan seks, itu salah mereka sendiri,’” Greyling mengenang dalam wawancara pada konferensi AIDS. “Saat itulah saya sadar bahwa umat beragama, pemimpin gereja tidak dapat bekerja dengan konsep kita dan mereka.”
Pada 2006, Greyling membantu mendirikan INERELA+, sebuah organisasi berbasis di Afrika untuk para pemimpin agama yang hidup dengan HIV. Organisasi tersebut memiliki 7.000 anggota di seluruh dunia dari bermacam kelompok agama.
Greyling juga merupakan direktur HIV dan penyakit menular untuk World Vision, salah satu organisasi donor penginjil terbesar di dunia, dimana ia mendidik para pemuka agama untuk memerangi diskriminas atas orang-orang dengan HIV. Ia mengatakan bahwa kondom harus menjadi bagian dari perlawanan terhadap epidemi.
“Tuhan berkehendak supaya kita hidup sesuai keinginannya, yaitu selibat dan setia dalam menjalani hubungan,” ujarnya. “Tapi kami sadar bahwa tidak semua orang dapat membuat pilihan-pilihan tersebut.”
Selama konferensi tersebut, Greyling berbicara dalam seminar penginjil dan kekhawatiran para pemimpin agama Kristen mengenai AIDS. Ia memuji mereka karena memiliki pendekatan pragmatis yang menurutnya hampir tidak ada saat ia membuka diagnosis yang ia terima.
“Sejak 1991 sampai sekarang, saya kira kita bisa merayakan bagaimana gereja dan komunitas keimanan telah melangkah lebih jauh dari situasi kita dulu,” tutur Greyling.
Dorongan komunitas ini telah membuat seorang penginjil Kristiani, mantan presiden George W. Bush, untuk mendirikan inisiatif AIDS yang dipuji telah menyelamatkan banyak nyawa.
Sementara itu bagi Pendeta North, hidupnya telah berubah. Ia memenangkan kasus pengasuhan anak dan berekonsiliasi dengan keluarga biologisnya. Kondisi kesehatannya pun membaik dan terkendali.
“Jadi apa yang telah hilang tidak hanya kembali, tapi saya mendapatkan lebih banyak lagi,” ujarnya. Termasuk gereja yang mengasihi kaum homoseksual dimana ia dapat melayani Tuhan.