UNITED NATIONS —
Kelompok-kelompok hak asasi manusia pada Senin (25/3) mengecam keras rancangan terbaru dari apa yang akan menjadi traktat internasional pertama untuk meregulasi perdagangan senjata konvensional global senilai US$70 miliar, menuding Amerika Serikat dan negara-negara lainnya telah ikut campur untuk memperingan isinya.
Namun beberapa delegasi negara barat mengecilkan keluhan-keluhan dari grup-grup seperti Oxfam, Amnesty International, Dewan Gereja Dunia dan Control Arms, dengan mengatakan bahwa dokumen terbaru tersebut telah menunjukkan kemajuan, meski perbaikan masih diperlukan.
Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai bertemu minggu lalu dalam dorongan final untuk mengesahkan traktat internasional yang mengikat untuk mengakhiri kurangnya peraturan penjualan persenjataan konvensional.
Pada Jumat lalu, Peter Woolcott dari Australia, pemimpin konferensi pembuatan rancangan peraturan tersebut, mendistribusikan dokumen yang telah direvisi. Salah satu perubahannya adalah daftar senjata yang tercakup dalam traktat tersebut.
Rancangan sebelumnya mencakup “minimum” tank, kendaraan tempur lapis baja, sistem artileri kaliber besar, pesawat tempur, helikopter penyerang, kapal perang, misil dan peluncur misil serta senjata kecil dan ringan.
Namun dokumen baru tidak menghapus kata “minimum”, yang menurut kelompok-kelompok HAM mempersempit secara dramatis cakupan senjata dalam traktat tersebut.
“Traktat ini tidak cukup baik. Ini bukan traktat yang akan menyelamatkan nyawa dan melindungi masyarakat,” ujar Anna Macdonald dari Oxfam.
Jonathan Frerichs dari Dewan Gereja Dunia mengatakan pada wartawan bahwa pesawat penyerang tak berawak dan granat tangan adalah contoh senjata mematikan yang seharusnya disebut dengan jelas tapi tidak ada dalam rancangan peraturan baru.
Juru kampanye pengawasan senjata dan advokat HAM mengatakan bahwa satu orang mati tiap menit di seluruh dunia akibat kekerasan bersenjata, dan sebuah traktat diperlukan untuk menghentikan aliran senjata dan amunisi yang tidak terkontrol yang menurut mereka membantu mendorong perang, kekejaman dan pelanggaran hak.
Mereka mengatakan bahwa konflik-konflik di Suriah, Mali dan Republik Demokrat Kongo, Pantai Gading dan di tempat-tempat lain menyoroti kebutuhan untuk membuat senjata jatuh ke tangan pemerintah yang menggunakannya untuk kejahatan.
Beberapa diplomat Barat mengatakan kelompok-kelompok HAM tersebut mengabaikan perbaikan dan membesar-besarkan kekurangan rancangan baru tersebut.
Jika pakta tersebut tidak mencapai mufakat, maka akan diadakan pemilihan suara di Majelis Umum, yang menurut para diplomat kemungkinan besar akan disahkan.
Tujuan traktat perdagangan senjata adalah untuk membuat standar-standar untuk pengalihan senjata konvensional lintas batas. Hal ini juga akan menciptakan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi negara-negara untuk mengkaji kembali kontrak-kontrak senjata lintas batas untuk menjamin senjata tidak digunakan untuk melanggar hak asasi manusia, terorisme atau pelanggaran undang-undang kemanusiaan.
Selain cakupan senjata yang sempit, kelompok HAM dan pendukung traktat yang keras mengatakan amunisi tidak tercakup dengan benar, dan ada celah-celah yang tidak mengikutsertakan perjanjian kerja sama pertahanan, pinjaman dan penyewaan.
Macdonald menuding Amerika Serikat, produsen senjata teratas di dunia, telah mendesak penyempitan cakupan senjata dalam traktat. Misi AS di PBB tidak memberikan reaksi segera, namun beberapa diplomat juga menyalahkan AS dan negara-negara utama pengekspor senjata lainnya.
Minggu lalu, Menteri Luar Negeri AS menyuarakan dukungannya akan traktat tersebut, namun tidak menjanjikan dukungan Amerika. Ia mengulangi pernyataan bahwa AS tidak akan menerima traktat yang memberlakukan pembatasan baru bagi hak warga negara AS untuk memiliki senjata, sebuah isu politik yang sensitif di negara tersebut. (Reuters/Louis Charbonneau)
Namun beberapa delegasi negara barat mengecilkan keluhan-keluhan dari grup-grup seperti Oxfam, Amnesty International, Dewan Gereja Dunia dan Control Arms, dengan mengatakan bahwa dokumen terbaru tersebut telah menunjukkan kemajuan, meski perbaikan masih diperlukan.
Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai bertemu minggu lalu dalam dorongan final untuk mengesahkan traktat internasional yang mengikat untuk mengakhiri kurangnya peraturan penjualan persenjataan konvensional.
Pada Jumat lalu, Peter Woolcott dari Australia, pemimpin konferensi pembuatan rancangan peraturan tersebut, mendistribusikan dokumen yang telah direvisi. Salah satu perubahannya adalah daftar senjata yang tercakup dalam traktat tersebut.
Rancangan sebelumnya mencakup “minimum” tank, kendaraan tempur lapis baja, sistem artileri kaliber besar, pesawat tempur, helikopter penyerang, kapal perang, misil dan peluncur misil serta senjata kecil dan ringan.
Namun dokumen baru tidak menghapus kata “minimum”, yang menurut kelompok-kelompok HAM mempersempit secara dramatis cakupan senjata dalam traktat tersebut.
“Traktat ini tidak cukup baik. Ini bukan traktat yang akan menyelamatkan nyawa dan melindungi masyarakat,” ujar Anna Macdonald dari Oxfam.
Jonathan Frerichs dari Dewan Gereja Dunia mengatakan pada wartawan bahwa pesawat penyerang tak berawak dan granat tangan adalah contoh senjata mematikan yang seharusnya disebut dengan jelas tapi tidak ada dalam rancangan peraturan baru.
Juru kampanye pengawasan senjata dan advokat HAM mengatakan bahwa satu orang mati tiap menit di seluruh dunia akibat kekerasan bersenjata, dan sebuah traktat diperlukan untuk menghentikan aliran senjata dan amunisi yang tidak terkontrol yang menurut mereka membantu mendorong perang, kekejaman dan pelanggaran hak.
Mereka mengatakan bahwa konflik-konflik di Suriah, Mali dan Republik Demokrat Kongo, Pantai Gading dan di tempat-tempat lain menyoroti kebutuhan untuk membuat senjata jatuh ke tangan pemerintah yang menggunakannya untuk kejahatan.
Beberapa diplomat Barat mengatakan kelompok-kelompok HAM tersebut mengabaikan perbaikan dan membesar-besarkan kekurangan rancangan baru tersebut.
Jika pakta tersebut tidak mencapai mufakat, maka akan diadakan pemilihan suara di Majelis Umum, yang menurut para diplomat kemungkinan besar akan disahkan.
Tujuan traktat perdagangan senjata adalah untuk membuat standar-standar untuk pengalihan senjata konvensional lintas batas. Hal ini juga akan menciptakan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi negara-negara untuk mengkaji kembali kontrak-kontrak senjata lintas batas untuk menjamin senjata tidak digunakan untuk melanggar hak asasi manusia, terorisme atau pelanggaran undang-undang kemanusiaan.
Selain cakupan senjata yang sempit, kelompok HAM dan pendukung traktat yang keras mengatakan amunisi tidak tercakup dengan benar, dan ada celah-celah yang tidak mengikutsertakan perjanjian kerja sama pertahanan, pinjaman dan penyewaan.
Macdonald menuding Amerika Serikat, produsen senjata teratas di dunia, telah mendesak penyempitan cakupan senjata dalam traktat. Misi AS di PBB tidak memberikan reaksi segera, namun beberapa diplomat juga menyalahkan AS dan negara-negara utama pengekspor senjata lainnya.
Minggu lalu, Menteri Luar Negeri AS menyuarakan dukungannya akan traktat tersebut, namun tidak menjanjikan dukungan Amerika. Ia mengulangi pernyataan bahwa AS tidak akan menerima traktat yang memberlakukan pembatasan baru bagi hak warga negara AS untuk memiliki senjata, sebuah isu politik yang sensitif di negara tersebut. (Reuters/Louis Charbonneau)