Kelompok-kelompok HAM, Selasa (4/4), memuji langkah Malaysia untuk menghapus hukuman mati wajib sebagai langkah maju yang besar dalam mendorong penghapusan hukuman mati di Asia Tenggara.
Alih-alih hukuman mati, parlemen pada hari Senin menyetujui RUU yang memberi pengadilan pilihan menjatuhkan hukuman penjara antara 30 dan 40 tahun dan hukuman cambuk tidak kurang dari 12 kali. Sebelumnya, pengadilan tidak punya pilihan selain mengamanatkan hukuman gantung sebagai hukuman untuk berbagai kejahatan termasuk pembunuhan, perdagangan narkoba, makar, penculikan dan aksi teror.
Phil Robertson dari Human Rights Watch mengatakan sikap progresif Malaysia dapat membantu “memecah kebuntuan dalam gerakan maju menuju penghapusan hukuman mati” di 10 anggota PBB diAsia Tenggara.
“Terlalu banyak negara ASEAN memanfaatkan hukuman mati sebagai cara untuk menakut-nakuti penjahat, tetapi taktik itu tidak benar-benar berhasil. Singapura terlalu sering memberlakukan hukuman mati, Vietnam membunuh puluhan orang setiap tahun, dan bahkan Myanmar sekarang mengeksekusi tahanan politik, tetapi kejahatan hampir tidak pernah berkurang," katanya. "Mudah-mudahan, langkah Malaysia akan menjadi contoh bagi negara-negara lain seperti Thailand, Laos, Brunei yang sudah lama tidak mengeksekusi orang," katanya.
Kamboja dan Filipina adalah hanyalah dua negara di kawasan itu yang menghapus hukuman mati, meskipun ada seruan untuk menghidupkannya kembali di Manila.
Singapura melanjutkan eksekusi dengan menggantung 11 orang tahun lalu setelah jeda karena pandemi COVID-19. Myanmar memiliki moratorium hukuman mati defacto sejak 1989, tetapi penguasa militer mengeksekusi empat tahanan politik tahun lalu.
Robinson mengatakan pemerintah Malaysia harus menunjukkan kepemimpinan regional dengan mendorong pihak-pihak lain di ASEAN untuk memikirkan kembali penggunaan hukuman mati yang berkelanjutan. Ia juga mendesak Malaysia untuk menghentikan hukuman cambuk, yang disebutnya "anakronisme feodal."
Kelompok-kelompok HAM Malaysia meminta Senat negara itu untuk segera meloloskan RUU tersebut sehingga raja dapat menandatanganinya menjadi undang-undang.
Begitu legislasi baru itu diberlakukan, hampir 850 terpidana mati yang sudah tidak bisa lagi naik banding dapat meminta peninjauan kembali atas hukuman mati mereka, tetapi tidak atas keputusan bersalah mereka. Peninjauan hanya dapat dilakukan satu kali. Saat ini di Malaysia, masih ada sekitar 500 terpidana mati lainnya masih menjalani proses banding.
Sementara itu, puluhan puluhan terpidana lain yang sedang menjalani hukuman penjara seumur hidup dapat berusaha untuk meminta hukuman lebih ringan.
Charles Hector dari kelompok Malaysia Menentang Hukuman Mati dan Penyiksaan mengatakan hukuman mati telah gagal mencegah kejahatan karena jumlah pembunuhan dan kasus perdagangan narkoba tetap tinggi. Ia mengatakan penghapusan hukuman penjara seumur hidup, yang dianggap oleh Paus Fransiskus sebagai “hukuman mati rahasia,” akan memberikan kesempatan kepada para tahanan untuk merehabilitasi diri. [ab/uh]
Forum