Aliansi Jurnalis Independen AJI merayakan hari jadinya ke-22, Jumat malam (26/8). Aliansi yang dibentuk pada 7 Agustus 1994 untuk melawan pemberangusan pers pada era Orde Baru, khususnya setelah pembredelan majalah Tempo, Detik dan Editor, kini telah ikut menjadi garda terdepan yang membela sekaligus mengkritisi keberadaan pers di Indonesia.
Ketua AJI Sarjono mengakui kebebasan pers di Indonesia memang masih menjadi persoalan serius. Ditambahkannya kekerasan terhadap wartawan masih banyak terjadi, dan polisi adalah pelaku yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap wartawan. Jika pada tahun 2014 hanya ada tujuh kasus, maka pada tahun 2015 naik dua kali lipat menjadi 14 kasus.
"Memang menjadi concern kami, belum ada kasus ditindaklanjuti secara hukum. Selain isu kebebasan pers, masih sangat serius, baik itu kekerasan terhadap wartawan cukup banyak, juga terkait kami masih menemukan kendala di beberapa tempat di Papua akses untuk teman-teman jurnalis darii berbagai negara sulit masuk," kata Sarjono.
Campur Tangan Pemilik Media, Ikut Pengaruhi Independensi Pers
Kendala lain yang dihadapi pers adalah besarnya campur tangan pemilik media, yang mempengaruhi independensi wartawan. Pemilik media tidak segan-segan mengharuskan wartawan media miliknya untuk meliput atau menyampaikan berita-berita pesanan mereka.
Meski tidak menyebut nama media atau pemilik media tersebut, Sarjono mengatakan AJI menerima banyak pengaduan tentang hal ini. Tahun 2015 ada 855 pengaduan akibat pemberitaan yang merugikan, atau naik 70 persen dibanding tahun 2014.
Forum LGBTIQ & IPT Raih Suardi Tasrif Award
Dalam peringatan hari jadi AJI ke-22 Jumat malam itu, AJI secara khusus menganugerahkan penghargaan Suardi Tasrif Award kepada forum LGBTIQ Indonesia dan International People Tribunal IPT.
Penghargaan ini diberikan karena kedua forum itu dinilai konsisten memperjuangkan upaya meningkatkan kesadaran tentang keberadaan kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender di tengah meningkatnya sentimen terhadap kelompok itu. Tentu masih segar dalam ingatan bagaimana penyerangan terhadap sebuah pesantren waria di Yogyakarta dan pembubaran diskusi tentang hal ini di Jakarta pada pertengahan tahun ini.
Sementara kelompok International People Tribunal IPT meraih penghargaan ini karena juga konsisten memperjuangkan nasib ribuan korban kejahatan kemanusiaan yang terjadi antara tahun 1965-1966 pasca kudeta PKI.
Ketika memberikan penghargaan ini, para juri mengatakan kedua forum ini terbentuk sebagai reaksi terhadap ketidakberdayaan negara membela kepentingan warganya.
Siti Khadijah Raih SK Trimurti Award
Dalam kesempatan itu AJI juga memberikan penghargaan SK Trimurti Award kepada Siti Khadijah, aktivis pemberdayaan perempuan yang selama bertahun-tahun memperjuangkan nasib buruh perempuan di perkebunan melalui berbagai program di radio komunitas Hapsari (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia). AJI juga sedianya memberikan penghargaan Udin Award, tetapi tahun ini tidak ada satu wartawan pun yang dinilai layak meraih penghargaan ini.
Beberapa menteri yang datang dalam acara AJI itu lebih mengomentari tentang keberadaan AJI dibanding pemberian penghargaan tersebut. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan meski Indonesia sudah 71 tahun merdeka, namun kebebasan pers baru berumur 17 tahun, seiring dengan lahirnya Undang-undang pers nomor 40 tahun 1999 sehingga masih banyak hal yang harus dibenahi.
"Dalam hitungan umur manusia, pers kita sebaya usia ABG (Anak Baru Gede). Lazimnya ABG, ada positif dan negatifnya. ABG itu semangatnya membara tapi kadang tak tentu arah menggelora. Ingin bebas tanpa batas padahal tatanan masyarakat sedemikian jelas. Berpikir hal-hal besar tapi mungkin lupa hal mendasar," kata Lukman Hakim Saifuddin.
Dengan tema besar “Media Ekspresi dan Keberagaman” AJI menegaskan komitmen mereka untuk tetap memperjuangkan kebebasan jurnalistik di Indonesia apapun taruhannya. [fw/em]