Sebagian masyarakat di Indonesia masih melihat perbedaan etnis, suku, golongan, dan agama, sebagai faktor penting dalam memilih calon pemimpin, baik di daerah maupun nasional. Pilkada DKI Jakarta menjadi salah satu awal maraknya sentimen SARA dalam pilihan politik, yang menggugurkan beberapa calon pemimpin daerah potensial karena termasuk dalam kelompok minoritas. Masih mungkinkah kelompok minoritas maju jadi calon pemimpin?
Pakar politik dari FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi, menyebut penolakan terhadap kelompok minoritas sebagai calon pemimpin darah maupun nasional, lebih didasari pada kepentingan politik. Penolakan calon pemimpin dari etnis, suku, agama, dan golongan yang minoritas, seharusnya tidak mesti terjadi bila masyarakat memiliki kedewasaan dan kesadaran dalam berpolitik dan sosial.
“Penolakan terhadap minoritas itu, itu bukan semata-mata karena posisinya monoritas. Tapi ada unsur-unsur atau pengaruh-pengaruh yang lain. Pengaruh kepentingan politik, yang kepentingan politik itu menjadikan isu-isu yang berdimensi kultural, etnis, golongan, agama, itu ditarik pada ranah politik. Nah itu tentu membutuhkan kedewasaan masyarakat untuk tidak dengan mudah terprovokasi dengan isu-isu tersebut,” papar Airlangga Pribadi.
Menurutnya, kemampuan dan keunggulan calon pemimpin harus menjadi modal utama yang harus ditunjukkan kepada masyarakat, meski calon itu dari kalangan minoritas. Pemahaman terhadap apa yang dibutuhkan rakyat, serta kebijakan politik yang berpihak pada rakyat, akan menjadi modal memenangkan pemilihan umum, baik dalam skala nasional maupun daerah.
“Minoritas tentunya menunjukkan kapasitasnya dia sebagai seorang pemimpin, artinya dalam konteks pertarungan politik elektoral, tentunya kan publik akan melihat apabila person itu memiliki hal yang bisa diandalkan untuk menjadi pemimpin tentu akan dipilih," ujar Airlangga Pribadi.
Selain itu, lanjutnya, masing-masing pihak, seperti elit-elit politik dan kandidat juga tetap memperhatikan political wisdom jadi kebijaksanaan sehingga kemudian bisa mengelola dan merebut hati dan pikiran rakyatnya untuk bisa menggerakkan wilayah tersebut.
Sementara itu, mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dalam sebuah seminar di Surabaya mengatakan, setiap warga negara memiliki hak untuk menjadi pemimpin bangsa. Meski dari kalangan minoritas, Basuki mendorong generasi muda yang dianggap kelompok minoritas untuk berani menjadi calon pemimpin bangsa masa depan.
Basuki Tjahaja Purnama pasca Pilkada DKI Jakarta menjalani hukuman penjara atas kasus dugaan penistaan agama, namun tetap terjun di dunia politik sebagai dorongan bagi siapa saja untuk tidak takut menjadi pemimpin bangsa meski dari suku, etnis, dan agama minoritas.
“Kalau saya mundur, nanti semua minoritas pikir bisa ditekan mundur dong. Ahok saja mundur, Ahok saja petarung mundur, bagaiman yang lain bisa muncul, makanya saya gunakan istilah start up. Kamu tahu kan start up perusahaan, kalau startup yang jadi unicorn berapa, paling satu persen yang jadi unicorn. Jadi walaupun tidak mungkin, minimal mesti ciptakan banyak start up. Saya ingin anak-anak muda semua ini harus berani menjadi presiden, soal kamu tidak jadi unicorn ya itu bicara garis tangan, tapi jangan mundur," tegas Basuki Tjahaja Purnama.
Sebagai pemimpin maupun calon pemimpin, Basuki Tjahaja Purnama mengingatkan agar tetap mengedepankan kepentingan rakyat, dan bukan mencari keuntungan sendiri. Kepedulian antar anak bangsa dengan saling membantu mengatasi kesulitan hidup yang dihadapi, harus dimiliki setiap anak bangsa terutama yang memiliki kesempatan dan peluang menggunakan kelebihan yang dimilikinya.
“Ya saya sampaikan, kalau kita memang diberi anugerah, punya keuangan lebih baik, punya kedudukan lebih baik, punya kekuasaan lebih baik, harusnya kita punya empati kepada saudara kita sebangsa yang mungkin dia punya nasib tidak sebaik yang baik tadi. Jadi harus ada murah hati juga, bukan cuma empati, harus ada murah hati untuk bantu. Itu adalah bagian dari kita punya gotong royong sebetulnya," ujar Basuki Tjahaja Purnama.
Dan yang ketiga, menurut Basuki Tjahaja Purnama, jangan mentang-mentang lebih hebat, lebih punya uang, punya apa-apa maka diperbolehkan menginjak-injak hukum. [pr/em]