Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, mendorong seluruh pihak siap menerima putusan majelis hakim konstitusi.
“Kalau itu diakui bersama, tidak akan ada yang hadir di MK, semua nonton di TV. Ini pasti ada yang tidak puas. Maka, mari kita dorong agar semua pihak tidak menjadikan ruang ini untuk merusak proses demokrasi yang kita bangun susah payah,” ujarnya dalam diskusi di Jakarta, Rabu (26/6/2019) sore.
Hal senada diungkapkan Titi Anggraini, Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dia meminta seluruh pihak percaya pada proses di MK. Sebab, majelis hakim terus memperbaiki kualitas pemilu dari tahun ke tahun.
Titi menjelaskan, MK pada 2004 pernah mengoreksi KPU soal penerapan sistem noken. Mahkamah meminta sistem itu diperbaiki supaya lebih tertib dan sesuai dengan administrasi pemilu. Terbaru, MK juga mengoreksi jumlah Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dari tiga jadi lima orang.
“Jadi cara Mahkamah memperbaiki kualitas pemilu kita juga dilakukan lewat putusan. Meskipun putusannya tidak dikabulkan,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah?
Di samping itu, Titi mendorong DPR mengubah sistem pemilu ke depan. Dia mengusulkan Indonesia kembali memisahkan pemilu nasional dan pilkada untuk 2024. Sebab pemilu serentak terlalu kompleks.
“Kita tidak perlu bangga menjadi pemilu paling rumit. Justru pemilu itu harus mudah. Nah di sini lah tantangan bagi legislator, supaya pemilu itu mudah tidak rumit. Bagi saya pemilu lima surat suara tidak usah kita ulang di 2024,” usulnya.
Selain itu, ujarnya, pemilu serentak juga punya beban kerja yang terlampau tinggi.
“Karena pemilu dengan lima surat suara tidak kompatibel bagi penyelenggara pemilu. Mereka bebannya menjadi luar biasa, dan pemilu jadi sesuatu yang unmanagable. Sekarang tidak mungkin jika manage pemilu yang sedemikian kompleks bagi peserta pemilu dan juga pemilih,” tandasnya.
Sementara itu, KPU juga melihat ke arah yang sama. Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan pemilu serentak 2019 memiliki beban kerja sangat tinggi. Apalagi gugatan di MK membuat prosesnya lebih panjang.
“Dengan keterbatasan kemampuan manusiawi dalam bekerja, tentu tidak sebanding dengan beban kerja. Sebagai konsekuensi logis dari pemilu serentak dan juga adanya batas putusan Mahkamah Konstitusi,” ungkapnya.
Wahyu menyinggung jumlah petugas KPPS yang sakit dan meninggal terkait pemilu April lalu. Data KPU per 4 Mei 2019 mencatat petugas yang meninggal ada 440 orang dan sakit 3.788 orang. Riset UGM di DI Yogyakarta mengungkap, 10 dari 12 kematian yang diteliti di provinsi tersebut merupakan kematian alamiah.
Karena itu, Wahyu mendukung ide pemisahan pemilu nasional dan daerah. Dia segera menggaet sejumlah pihak untuk menyusun rekomendasi kebijakan.
“Bersama-sama memberikan rekomendasi kebijakan perlunya pemilu serentak dikaji kembali. Setidaknya dalam merekomendasikan agar dibagi dalam dua jenis pemilu yakni pemilu lokal dan nasional,” pungkasnya. [rt/em]