Syahar Banu, anak dari korban Peristiwa Tanjung Priok Aminatun Najariyah mengatakan ibunya masih mengalami trauma akibat penahanan dan penyiksaan yang terjadi 3,5 dekade lalu. Aminatun dituding aparat terlibat kerusuhan di Tanjung Priok pada 12 September 1984 silam.
Peristiwa itu dipicu oleh aksi perusakan pamflet yang berisi kritikan ke pemerintah Orde Baru yang dilakukan Babinsa Koramil di Musala di Tanjung Priok pada 8 September 1984. Ini terjadi di tengah kebijakan Orde Baru yang menerapkan Pancasila sebagai asas tunggal. Beberapa hari kemudian, perseteruan berlanjut menjadi bentrok antara ribuan warga dengan aparat yang menggunakan senjata api. Dua puluh tiga orang meninggal akibat bentrokan itu.
Menurut Banu, ibunya masih mengalami trauma berat hingga sekarang. Itu terlihat dari ibunya yang kerap terbangun pada malam hari dan mimpi buruk tentang peristiwa Priok.
"Ibu saya dipenjara selama tiga bulan. Dan selama tiga bulan itu, ibu mengalami tekanan psikologis karena dipenjara bersama tahanan lain yang disiksa, dibunuh dan lainnya. Jadi ibu saya selalu mendengar suara teriakan-teriakan para tahanan itu," jelas Syahar Banu di Jakarta, Kamis (12/9).
Syahar Banu menambahkan, ibunya juga harus menjalani perawatan di rumah sakit jiwa di Jakarta, setelah dibebaskan dari penjara karena mengalami trauma berat. Tidak hanya itu, kata dia, penahanan tersebut juga membuat ekonomi keluarganya jatuh karena ibunya tidak bisa bekerja.
"Alat-alat ibu untuk membuat kue itu dirampas oleh negara dijadikan barang bukti. Bahwa ini adalah barang bukti untuk memberontak negara. Jadi pisau-pisau untuk membuat kue, blender itu disita negara," tambahnya.
Syahar berharap negara dapat serius dalam memberikan hak reparasi berupa kompensasi, restitusi dan rahabilitasi kepada korban dan keluarga korban peristiwa Tanjung Priok.
Senada dengan itu, Irta Sumitra berharap negara dapat memulihkan hak-haknya sebagai korban peristiwa Tanjung Priok. Irta mengaku belum menerima bantuan dari negara hingga sekarang. Ia menuturkan ketika itu masih di bangku 3 SMP saat ditangkap oleh aparat karena berada dalam kerumunan massa. Irta kemudian diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan tuduhan terlibat dalam gerakan pengacau keamanan. Pengadilan kemudian memvonis Irta dengan hukuman 2,5 tahun penjara.
"Selama ini kami menuntut sudah beberapa tahun dari Komnas sampai Kejaksaan, dibentuk pengadilan ad hoc itu masih gagal. Walaupun pengadilan sudah membuktikan ada korban dan pelaku," jelas Irta kepada VOA, Jumat (13/9).
Irta menambahkan dirinya mendapat penyiksaan dari aparat saat di penjara dengan tujuan agar ia mengakui tuduhan aparat. Penyiksaan tersebut berupa pemukulan, tendangan dan penyiksaan dengan rotan. Ia mengatakan masih trauma jika berada dalam kerumunan massa.
Terkait proses hukum ini, Manajer Amnesty International Indonesia, Puri Kencana Putri menjelaskan, pada 2001, Pengadilan HAM ad hoc tingkat pertama yang dibentuk melalui Keputusan Presiden telah memutus bersalah 12 terdakwa dari 14 personel militer yang masih aktif maupun yang telah pensiun. Putusan ini sekaligus memerintahkan negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dalam bentuk kompensasi, restitusi dan rahabilitasi.
Namun, para terdakwa melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi dan berhasil lolos dari jeratan hukum pidana karena diputus bebas oleh pengadilan.
"Meskipun dari sisi politik dan hukumnya sudah sangat kuat. Namun, akhirnya pada tahun 2006 Mahkamah Agung membebaskan 12 terdakwa dari proses penuntutan," jelas Puri Kencana Putri.
Putri mengatakan Peristiwa Tanjung Priok merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang di dalamnya ada pembunuhan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penghilangan orang secara paksa. Keempat kejahatan ini merupakan kejahatan yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Pengadilan HAM.
Berdasarkan laporan Komnas HAM, peristiwa ini menimbulkan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 23 orang.
Selain pemberian reparasi terhadap korban dan keluarga korban, Puri juga mendesak pemerintah provinsi DKI Jakarta melakukan memorialisasi sebagai bagian dari pengungkapan terhadap kasus Tanjung Priok. Menurutnya, hal tersebut semestinya mudah dilakukan oleh pemerintah provinsi seperti apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah dengan membangun prasasti memorialisasi terkait peristiwa kerusuhan Mei 1998.
VOA sudah berusaha mengkonfirmasi permintaan keluarga korban Priok ke sejumlah pejabat Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Namun, hingga berita ini diturunkan belum ada pernyataan dari KSP. [sm/lt]