Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengungkapkan bahwa negara-negara di seluruh dunia kemungkinan harus bersiap menghadapi pandemi berikutnya yang berisiko lebih buruk dari COVID-19.
"Ancaman munculnya varian lain yang menyebabkan gelombang baru dan kematian tetap ada, dan ancaman munculnya patogen lain dengan potensi yang lebih mematikan tetap ada," ungkap Tedros dalam pertemuan Majelis Kesehatan Dunia di Jenewa, Swiss Rabu (24/5) seperti dikutip dari Liputan6.com
Maka dari itu WHO mendesak kepada seluruh pihak untuk fokus melakukan penelitian pada penyakit-penyakit yang berpotensi menimbulkan masalah kesehatan yang besar seperti virus Ebola, Zika, Marbugh dan Nipah. Selain itu, WHO juga memperingatkan soal penyakit X.
Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengungkapkan penyakit X merujuk kepada sebuah penyakit atau virus yang memang belum diketahui.
“Penyakit X sebetulnya nama yang diberikan untuk me-refer pada satu penyakit yang memang belum diketahui. Itu sesuatu yang kita belum tahu, Jadi disebutnya adalah hypothetical disease, atau penyakit yang masih dalam perkiraan. Tapi itu ada, tapi belum tahu,” ungkap Dicky kepada VOA.
Menurutnya, penyakit X memiliki beberapa kriteria yang perlu diwaspadai , di antaranya cepat menular terutama melalui udara dan kontak fisik seperti cairan tubuh, belum ada obat dan vaksinnya, serta masyarakat belum memiliki imunitas terhadap penyakit tersebut. Penyakit X juga, katanya, menyebabkan tingkat kematian di atas 25 persen.
“Ini semua yang membuat kenapa X disease ini harus diantisipasi atau dimitigasi,” imbuhnya.
Senada dengan WHO, Dicky juga menyebut beberapa penyakit atau patogen yang berpotensi menjadi pandemi di masa yang akan datang, seperti virus influenza, virus corona, bakteri resisten antibiotik, dan penyakit yang semula ada di hewan kemudian menular ke manusia (zoonosis disease), seperti ebola dan virus hendra.
Faktor lain penyebab kemungkinan terjadinya pandemi di masa depan, kata Dicky, di antaranya adalah meningkatnya interaksi antara manusia dengan hewan liar, mengingat jumlah penduduk yang terus meningkat.
“Karena kebutuhan perumahan dan sebagainya ini akhirnya berdekatan atau mengambil lahan di alam liar. Ini yang bisa berpotensi menimbulkan zoonosis disease. Lalu, kedua karena global travel, jadi transportasi modern yang cepat juga dimana-mana menyebabkan potensi meningkatnya dan semakin mudah dan cepatnya penyebaran dari satu penyakit yang menular ke berbagai wilayah di dunia,” tuturnya.
Guna merespons hal tersebut, baik pemerintah maupun masyarakat harus bersama-sama melakukan mitigasi. Dari sisi pemerintah, kata Dicky, penguatan pengawasan atau kemampuan mendeteksi dini sangat dibutuhkan melalui penguatan sistem kesehatan. Pemerintah, katanya, juga harus gencar memberikan pesan kepada masyarakat untuk berperilaku hidup sehat dan bersih.
Lalu di mana wilayah yang berpotensi untuk ditemukan sebuah virus atau penyakit yang berpotensi menjadi pandemi di masa depan? Dicky menjawab kemungkinan akan muncul di negara-negara tropis.
“Kalau bicara wilayah atau negara sebenarnya yang termasuk kategori atau namanya hot spot atau red zone untuk menjadi kontributor atau lahirnya new emerging disease atau penyakit baru yang bisa menjadi pandemi adalah ASEAN atau South East Asia atau Indo-China,” tuturnya.
“Jadi termasuk China dan Indonesia, karena kawasan ini adalah kawasan yang kaya akan kehidupan hewan liar dengan alamnya yang kita tahu lebih dari 90 persen jenis yang berpotensi menjadi zoonosis disease itu masih ada di alam liar, sebelum ditemukan oleh manusia dan itu adanya terutama di kawasan atau negara yang memiliki hutan liar termasuk Afrika, dan Amerika Latin juga,” tambahnya.
Merespons pernyataan WHO tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa pemerintah menyadari bahwa COVID-19 bukanlah pandemi yang terakhir. Maka dari itu, katanya, pemerintah senantiasa melakukan berbagai penguatan dalam sistem kesehatan di Indonesia dari hulu sampai ke hilir.
Ia menjelaskan langkah itu dilakukan d iantaranya dengan terus menerus merekrut tenaga kesehatan sehingga siaga dalam menghadapi berbagai masalah kesehatan. Kemenkes, katanya juga, akan meningkatkan kemandirian alat kesehatan, obat dan juga vaksin, dan memperkuat surveillance genomic dengan menjalin kerja sama dengan lembaga atau organisasi internasional seperti dengan GISAID.
“Terakhir yang kita lakukan, kita tahu bahwa penyakit yang potensi menyebabkan pandemi ini misalnya bersumber dari binatang atau zoonosis. Makanya, program one health atau kebijakan one health ini menjadi salah satu yang kita kembangkan. Makanya di Pandemic Fund kita mengusulkan untuk penguatan sistem surveillance yang ada di hewan liar yang kaitannya dengan KLHK, kemudian peternakan yang kaitannya ada di Kementan dan penguatan surveillance di manusia, misalnya surveillance ISPA. Jadi orang-orang yang punya gejala ISPA atau ISPA agak aneh sehingga menyebabkan kematian itu sample darahnya diperiksa untuk dicari virusnya apakah ada virus yang berbeda,” ungkap Nadia kepada VOA.
Sementara WHO secara resmi mengakhiri status kesehatan darurat global untuk COVID-19 pada 5 Mei 2023 lalu, pemerintah Indonesia, kata Nadia, masih belum mengetahui kapan status tersebut akan dicabut di Tanah Air. Menurutnya, setelah berkonsultasi dengan WHO, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum sebuah negara bisa mencabut status darurat kesehatan ini.
“Sebelum WHO mengumumkan kedaruratan kesehatan itu mau dicabut, kita sudah lima bulan sebelumnya konsultasi dengan WHO, bagaimana Indonesia apakah in good shape, untuk kemudian bisa mencabut situasi kedaruratan kesehatan masyarakat? Dalam prosesnya WHO mengatakan bahwa ada hal-hal yang harus dipersiapkan sesuai dengan strategi tadi. Itu yang kemarin sedang kita persiapkan. Artinya, dari sisi itu kita persiapkan, ya mungkin nanti keputusannya adalah pada level Presiden yang harus diputuskan pada level rapat kabinet,” pungkasnya. [gi/ab]
Forum