VOA - Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan, penyakit gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak telah ditemukan di 28 provinsi dengan jumlah total 324 kasus. Dari jumlah itu, 195 meninggal, 27 orang masih dirawat di rumah sakit dan 102 lainnya telah dinyatakan sembuh.
"Pada 6 November 2022 tidak ada kasus yang dilaporkan baik itu kasus baru atau lama termasuk angka kematian," kata Syahril saat konferensi pers, Senin (7/11).
Menurut Kemenkes dari seluruh jumlah kasus gangguan ginjal akut, sebanyak 58 persen pasien mengalami tingkat keparahan pada stadium tiga.
"Kematian ini tertinggi karena memang di stadium tiga. Stadium tiga memang bisa diobati apabila belum benar-benar menjadi tingkatan masa yang sangat berat. Tapi kalau stadium satu dan dua semuanya bisa diselamatkan," ungkap Syahril.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Kemenkes, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), rumah sakit, ahli epidemiolog, apoteker, dan ahli toksikologi, penyebab sebagian besar penyakit gangguan ginjal akut pada anak adalah zat berbahaya etilen glikol dan dietilen glikol pada obat sirop atau cair.
"Kemudian, kami lanjutkan dengan pemeriksaan biopsi ginjal. Kami menemukan kelainan ginjal yang diakibatkan karena gangguan atau intoksikasi dari zat etilen glikol dan dietilen glikol pada obat sirop," jelas Syahril.
Para peneliti memiliki dugaan kuat bahwa penyebab terbanyak dari pasien gangguan ginjal akut adalah intoksikasi (keracunan) zat berbahaya tersebut. "Memang dugaan menjadi kuat ini yang menjadi penyebab terbanyak dari kasus gagal ginjal yang kami teliti," tandas Syahril.
Sampai saat ini belum ada pihak yang mengaku bertanggung jawab atas penyakit gangguan ginjal akut yang disebabkan oleh kandungan zat berbahaya etilen glikol dan dietilen glikol yang melebihi ambang batas aman pada obat sirop.
Anggota DPR RI dari Komisi VI Andre Rosiade menilai harus ada pihak yang bertanggung jawab terkait masalah itu. Menurut Andre, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menolak mengaku bertanggungjawab.
"Jadi yang saya tonton adalah BPOM benar-benar buang tanggung jawab, menyalahkan Kementerian Perdagangan. Padahal Kementerian Perdagangan menyampaikan kepada kami impor obat itu adalah rekomendasi dari Kementerian Kesehatan. Jadi terlihat sekali di sini BPOM tidak mau disalahkan," kata Andre dalam rapat dengar pendapat Komisi VI DPR RI dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
Menurut Andre, BPOM seharusnya mengawasi produksi dan setiap bahan baku yang digunakan untuk pembuatan obat. "Jadi terlihat sekali di sini BPOM tidak mau disalahkan. Ini ketidakmampuan kepala BPOM dan institusinya," pungkasnya.
Sebelumnya, Kepala BPOM RI Penny K Lukito mengatakan, hasil pemeriksaan sarana produksi telah ditemukan bukti bahwa industri farmasi mengubah pemasok bahan baku obat (BBO) dan tidak memenuhi syarat cemaran etilen glikol yang tidak melebihi ambang batas aman, tidak lebih dari 0,1 persen.
"Industri farmasi juga tidak melakukan penjaminan mutu BBO propilen glikol yang digunakan untuk sirup obat sehingga produk yang dihasilkan tidak memenuhi syarat. Industri farmai juga tidak melakukan proses kualifikasi pemasok BBO termasuk tidak melakukan pengujian,” katanya dikutip dalam laman resmi BPOM. [aa/ab]
Forum