Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan pihaknya saat ini sedang menyusun peta jalan menuju situasi endemi. Ia menjelaskan, sebelum fase endemi tercapai, setidaknya ada dua tahapan yang harus dilalui dengan baik, yakni fase pengendalian pandemi dan fase pra-endemi.
“Dalam masa pengendalian endemi ini ada indikator-indikator yang harus kita tetapkan dan saat ini masih kita bahas terus dengan para ahli untuk bisa kemudian memastikan kita pada track yang benar untuk mencapai kondisi endemi tadi,” ungkap Nadia dalam telekonferensi pers, di Jakarta, Selasa (8/3).
Indikator-indikator yang harus dipertimbangkan menuju situasi endemi, menurutnya, termasuktransmisi COVID-19 komunitas harus berada pada level 1, cakupan vaksinasi COVID-19 dosis lengkap minimal 70 persen, serta testing and tracing yang sudah sesuai dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu, ujar Nadia, laju penularan COVID-19 ((reproduction rate) harus kurang dari satu dalam kurun waktu tertentu.
Nadia mengatakan dalam menyusun peta jalan menuju endemi, pemerintah akan mempertimbangkan pelonggaran aktivitas masyarakat.
Namun, ia menggarisbawahi bahwa pelonggaran aktivitas masyarakat tidak bisa dilakukan berbarengan dengan pelonggaran protokol kesehatan. Menurutnya, pemerintah sangat berhati-hati dalam menerapkan berbagai kebijakan di dalam pengendalian pandemi ini.
“Terkait penggunaan masker nanti kita lihat seperti apa, kita tidak akan melakukan pelonggaran secara bersamaan. Artinya pelonggaran aktivitas masyarakat ini yang kita kendorkan terlebih dahulu. Kita tahu sudah banyak yang sesuai dengan level masing-masing provinsi, kabupaten/kota, sudah banyak kegiatan yang dilakukan termasuk penggunaan kapasitas WFH, dan kemudian pemeriksaan antigen untuk perjalanan dalam negeri. Kita terus sesuaikan dengan tren daripada laju penularan. Jadi kita tidak akan cepat-cepat melakukan pelonggaran prokes tanpa menilai situasi ataupun kondisi yang ada,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang berbeda, Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengungkapkan istilah endemi digunakan untuk menggambarkan keberadaan sebuah penyakit yang cenderung terkendali karena jumlah kasus yang rendah secara konsisten dengan luas daerah terdampak dan durasi yang beragam di setiap daerah. Namun ia menekankan, bahwa penetapan status endemi tetap berada di tangan WHO.
“Dan penetapan status endemi merupakan otoritas dari WHO karena untuk mengubah pandemi yang berdampak pada banyak negara diperlukan perbaikan kondisi kasus juga secara global. Umumnya kondisi terkendali ini dapat diindikasikan dari jumlah kasus dan kematian yang rendah bahkan nol dalam jangka waktu tertentu,” jelas Wiku.
“Kondisi ini hanya dapat tercapai jika masyarakat secara kolektif menjalankan pengendalian COVID-19 dengan optimal. Ke depannya, semoga masyarakat dunia semakin baik beradaptasi, hidup berdampingan dengan COVID-19,” tambahnya.
Situasi Pandemi COVID-19 Global dan Nasional
Nadia juga menjelaskan bahwa secara global, situasi pandemi COVID-19 juga cenderung membaik. Ia mengatakan sudah terjadi tren penurunan kasus baru dan kematian
“Pada minggu sebelumnya itu dilaporkan , kalau kita bandingkan penurunan sebesar 16 persen untuk kasus baru, sementara untuk kematian itu sebanyak 10 persen,” tuturnya.
Secara nasional tren penurunan kasus juga terjadi. Nadia mencatat bahwa per 7 Maret tes positivity rate harian untuk pertama kalinya turun di bawah 10 persen yakni 9,93 persen dalam 30 hari terakhir. Hal ini menjadikan turunnya agregat positivity rate mingguan menjadi 13,56 persen.
“Harapannya agar positivity rate ini agar kembali terkendali di bawah angka lima persen seperti pada September-Desember 2021 lalu,” katanya.
Meski begitu, Nadia melaporkan bahwa angka kematian masih menunjukkan peningkatan sebesar 16,78 persen dibandingkan dengan minggu lalu. Ia menekankan bahwa kematian paling tinggi terjadi pada kelompok yang belum mendapatkankan vaksinasi. Selain itu, jika dilihat dari tingkat keterisian tempat tidur atau bed occupancy ratio (BOR) pasien COVID-19 di rumah sakit berada pada level 28,24 persen dari total kapasitas. Angka ini sudah sangat menurun jika dibandingkan dengan gelombang delta tahun lalu.
Pelonggaran Harus Bertahap, Situasi Belum Aman
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengakui bahwa situasi pandemi di Indonesia membaik. Namun, ia mengatakan, situasi kritis belum terlewati. Hal ini terlihat dari angka kematian yang masih meningkat di atas satu persen. Selain itu, positivity rate di 30 provinsi di tanah air masih di atas lima persen. Kapasitas deteksi dini seperti testing dan tracing menurutnya masih belum memadai sampai saat ini.
“Saya sangat berpendapat ketika melakukan pelonggaran harus bertahap, tidak dalam waktu mendadak, tidak juga terburu-buru dan berskala besar. Misalnya bertahap di daerah yang sistem kesehatannya kuat, masyarakatnya juga sudah lebih aware dalam 5M, nanti meluas. Karena situasi masih pandemi, strategi komunikasi risiko harus terus dijaga jangan sampai ada anggapan, pandemi selesai dan kita bebas. Kalau ini dibiarkan maka akan terjadi perburukan,” ungkapnya kepada VOA.
Ia mengatakan ada tiga aspek yang harus dipertimbangkan. Pertama, cakupan vaksinasi yang memadai harus sudah mencapai 90 persen untuk dosis kedua dan 50 persen untuk vaksinasi booster.
Kedua, beberapa indikator epidemiologi terkontrol, seperti test positivity rate harus di bawah satu persen, keterisian tempat tidur ldi bawah 10 persen, dan angka kematian juga di bawah satu persen.
Ketiga, kesiapan masyarakat untuk hidup berdampingan bersama COVID-19. Masyarakat, menurutnya, harus tetap menjalankan protokol kesehatan, dan menyadari ketika sedang sakit, harus berobat dan diam di rumah. [gi/ab]